DAFTAR ISI

PANGAPORA

Dari Redaksi

PAMATOR

Surat Dari Pembaca

ARTIKEL TAMU

Pembelajaran Bahasa Indonesia Kontekstual : Bambang Yulianto

ARTIKEL UTAMA

1- Membelajarkan Dongeng Melalui Pendekatan Kontekstual Alternatif Peningkatan Apresiasi Sastra :Rusly

2- Dari KBK Ke Inovasi: Menembus Kemandegan Pendidikan Kita: Abd Qadir

3- Pesantren: Antara Ta'lim dan Dirasah: Hodri Ariv, M.Ag

4- Model Pembelajaran Problem Solving dan Prestasi Belajar IPA Siswa: Zainal Hasan

WAWANCARA

KH. Muhammad Idris Jauhari: SDM Guru, Tetap Lebih Penting Dari Metode

ARTIKEL LEPAS

1- Cara Baru Mengajar Gramatika B. Arab: Abdul Wahid Hasan

2- Teologi dan Liberasi Pendidikan Islam (Wacana Keilmuan, Pembebasan dan Pendidikan Kritis-Transformatif). Mohammad Suhaidi RB.

KOLOM

1- Pak Sanusi, Di Mana Dulu Engkau Sekolah ?: Oleh : Zeinul Ubbadi*

2- isonansi yang Memecah Kebekuan Formalitas: Abdullah Cholish Hafidz

RESENSI

Kurikulum 2004: Menjadikan Setiap Anak Unik dan Unggul: Ahmad Nurhadi Mokri

 

 

PANGAPORA

Salam ……

Metodologi pembelajaran seperti apakah yang paling sering – atau bahkan satu-satunya – dilakukan oleh pendidik di ruang kelas? Bisa dipastikan jawabannya adalah ceramah. Sifatnya yang mudah dan murah telah mengantar pendidik untuk tidak beranjak dari metodologi ini. Bahkan boleh dibilang setua usia pendidikan kita. Tetap populer sejak dulu hingga sekarang.

Tanpa mau menafikan kelebihannya, metodologi ini sebenarnya sangat ideologis. Ideologis dalam arti bahwa metodologi ini menyembunyikan kehendak untuk berkuasa (the will to power), setidak-tidaknya kuasa untuk menjadi benar (the will to truth). Dengan kata lain, metodologi ini ketika dipraktekkan pendidik dalam ruang kelas telah mengontrol apa yang disebut pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan dan kebenaran hanya menjadi milik pendidik. Di luar itu – pengetahuan - dan kebenaran milik peserta didik – adalah nonsens.

 Metodologi ceramah sebagaimana kita tahu tidak memerlukan dialog. Tidak perlu ada umpan balik (feed back). Tidak perlu ada gesekan pemikiran. Karena sifatnya yang monolog, satu ruang yang memungkinkan pendidik dan peserta didik secara ikhlas mendiskusikan pengetahuan dan kebenaran nyaris tidak mendapat tempat. Kalaupun ada dialog, dialog yang terjadi setengah hati. Pada akhirnya, pendulum bergerak kembali ke pusat. Pusat yang mengontrol, mengendalikan, dan menertibkan apa yang disebut pengetahuan dan kebenaran.

Akibatnya sungguh sangat mengenaskan. Ruang kelas menjadi membosankan. Peserta didik tak bergairah untuk belajar. Pendidikan hanya menjadi tempat mereproduksi pengetahuan. Yang lebih parah pendidikanpun berubah menjadi BLK (Balai Latihan Kerja) untuk menjawab soal-soal ujian harian, smester, atau UNAS. Dan hal itu terus terjadi meski banyak konsep seperti KBK, untuk menyebut satu contoh, sering menjadi pembicaraan.

Nah, Jurnal EDUKASI edisi ke-4 ini mengangkat tema “ Model-Model Pembelajaran Inovatif”. Tema ini diangkat secara sadar untuk mendorong tumbuhnya kreatifitas pendidik terkait dengan metodologi pembelajaran yang menantang sekaligus menggairahkan. Sudah saatnya kita mendiskusikan metodologi pembelajaran yang tidak mengasingkan peserta didik dari pengalaman dan lingkungannya. Metodologi yang juga menempatkan mereka sebagai subyek pengetahuan. Setidak-tidaknya Jurnal EDUKASI telah berani mencoba. Selamat membaca !

 

 

 Back To Daftar Isi

PAMATOR

Edukasi, Nggak Serem

Assalamu’alaikum

Saya sangat senang dengan terbitnya jurnal Edukasi. Terus terang, setelah membaca Edukasi gambaran saya selama ini tentang sosok jurnal yang “seram” sirna. Dengan gaya bahasa dan cover yang cenderung “ngepop” menjadikan Edukasi enak dibaca oleh kalangan mahasiswa seperti saya. Apalagi isinya tidak cuma tulisan ilmiah, tapi juga ada kolom, resensi. Jadi lebih segar,apalagi jika ditambah rubrik yang berisi sentilan satire soal pendidikan di Sumenep (misalnya rubrik Pojok Edukasi). Salut buat Edukasi. Semoga semakin bagus.

Fatimah-Mhs.Unija sumenep

  

Diknas Sumenep, Berani

Assalamu’alaikum wr,wb.

Membaca jurnal Edukasi, seperti membaca “sisi lain” dari wajah dinas pendidikan Sumenep. Terbitnya Edukasi merupakan keberanian dinas pendidikan untuk mendengarkan suara masyarakat (baca: tenaga pendidikan) soal bagaimana hiruk pikuk dunia pendidikan di Sumenep. Semoga terbitnya jurnal edukasi ini bermanfaat bagi dunia pendidikan Sumenep.

Cuma, saya membacanya sering terlambat karena harus giliran dengan teman-teman sekantor. Bagaiman kalau jatah untuk sekolah ditambah ? kalaupun mesti berlangganan kami siap, asal disubsidi hehe….

Moh.Yasin-Guru MTs di Lenteng

 

Ingin langganan

Assalamu’alaikum

Saya tahu jurnal Edukasi dari seorang kawan yang menjadi guru di sebuah sekolah di Sumenep ini. Isinya menarik, tidak seperti jurnal lainnya. Bahkan menurut saya (maaf) lebih bagus dari majalah yang diterbitkan oleh Kanwil Diknas Jatim.

Saya jadi tertarik untuk berlangganan. Bagaimana caranya ? 0,iya, covernya jangan kebanyakan warna hitam dong… kan gelap. Terima kasih.

Cece Kinasih-Perum Bumi Sumekar Kolor

 

Honor Gede ?

Ass.wr,wb.

Terbitnya jurnal Edukasi saya lihat dapat menjadi jembatan komunikasi baik diantara sesama guru maupun dengan birokrasi (Diknas Sumenep dan Pemkab Sumenep). Atau paling tidak jurnal Edukasi ini menjadi wahana yang bagus bagi tenaga dan praktisi pendidikan di Sumenep untuk menyampaikan ide dan gagasan soal pendidikan melalui tulisan-tulisan ilmiah. Apalagi saya dengar honor menulis di Edukasi lumayan gede, bener nih…?

Sugihartono-pemerhati pendidikan,tinggal di Sumenep

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL TAMU

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KONTEKSTUAL

Bambang Yulianto (Unesa)

 

Mengapa Pembelajaran Kontekstual?

Hasil penelitian Direktorat Dikmenum 1996-1997 (Dedniknas, 2000b:iii) menunjukkan bahwa pembelajaran cenderung text book oriented dan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa. Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik. Guru biasa menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah. Akibatnya, motivasi belajar siswa sulit ditumbuhkan dan pola belajar mereka cenderung menghafal dan mekanistik. Kenyataan yang demikian mendorong upaya untuk mengubah model pembelajaran yang ada menjadi pembelajaran kontekstual. Mengapa demikian? Pembelajaran kontekstual sudah teruji keunggulannya, baik terhadap hasil belajar maupun terhadap aspek kognitif lainnya, seperti kemampuan berpikir tinggi, bahkan terhadap sikap dan perilaku.

Pilihan di atas dipengaruhi oleh nuansa paradigma pendidikan yang modern, yang telah mengubah beberapa prinsip pembelajaran. Jika semula arah pembelajaran bersifat behavioristis, yang menekankan pentingnya driil untuk menumbuhkan kebiasaan, kini berubah menjadi pembelajaran yang bersifat konstruktivistis, yang menekankan pentingnya peran kognitif untuk mengkonstruksi informasi (konsep). Orientasi pembelajaran yang bersifat teacher oriented kini ditinggalkan orang dengan menggantinya ke student oriented. Salah satu penerapan paradigma yang baru itu adalah pembelajaran kontekstual.

Ada Apa dengan Pembelajaran Kontekstual?

Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan yang lain dan dari satu konteks personal, sosial, atau budaya, misalnya, ke konteks lainnya (Johnson, 2002). Pembelajaran kontekstual menyandarkan pada memori spasial. Pemilihan informasi didasarkan kepada kebutuhan individu siswa. Adanya kecenderungan mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin). Pembelajaran kontekstual juga selalu mengaitkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran ini menerapkan penilaian autentik.

Perbedaannya dengan pembelajaran yang konvensional dapat dicermati pada tabel berikut.

Tabel 1 Perbedaan Pola Pembelajaran Konvensional dan

Kontekstual

Konvensional

Kontekstual

Menyandarkan kepada hafalan

Menyandarkan pada memori spasial

Pemilihan informasi ditentukan oleh guru

Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan individu siswa

Cenderung berfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu

Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin)

Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan

Selalu mengaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa

Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian/ulangan

Menerapkan penilaian autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah

(Depdiknas, 2002b:5)

Pembelajaran kontekstual merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Pendekatan ini memberikan pengalaman yang lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan diterapkannya seumur hidup melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas (Depdiknas, 2002a). Pembelajaran ini berusaha menyajikan suatu konsep yang dikaitkannya dengan konteks materi tersebut digunakan, sehingga pengalaman belajarnya lebih realistis dan biasanya akan berdaya tahan lama. Dalam hal ini siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan, yang mengacu kepada permasalahan riil yang berkaitan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa, maupun pekerja.

Johnson (2002) menunjukkan delapan komponen pembelajaran kontekstual, yakni (1) membuat hubungan bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang signifikan, (3) belajar menyesuaikan diri, (4) berkolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) pengalaman individual, (7) pencapaian standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik. Sementara itu, dalam dokumen Depdiknas (2002b:12—14) dinyatakan bahwa pembelajaran kontekstual menekankan hal-hal berikut: (1) belajar berbasis masalah (problem-based learning), (2) pengajaran autentik (authentic instruction), (3) belajar berbasis inkuiri (inquiry-based learning), (4) belajar berbasis proyek (project-based learning), (5) belajar berbasis kerja (work-based learning), (6) belajar layanan (service learing), dan (7) belajar kooperatif (cooperative learning).

Berdasarkan faktor kebutuhan individual siswa, dalam pembelajaran kontekstual, guru harus memperhatikan hal berikut: (1) merencanakan pembelajaran berdasarkan kewajaran perkembangan mental, (2) membentuk kelompok belajar yang saling bergantung, (3) menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri, (4) mempertimbangkan keragaman siswa, (5) memperhatikan multi-inteligensi siswa, (6) menggunakan teknik bertanya, dan (7) menerapkan penilaian autentik.

Bagaimana Strategi Pembelajaran Kontekstual?

CORD (Center for Occupational Research and Development) menyampaikan lima strategi pembelajaran kontekstual, yang disingkat REACT, yakni relating, experiencing, applying, cooperating, dan transfering (Depdiknas, 2002b:20—21). Relating mengacu kepada hal bahwa belajar harus dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata. Experiencing menyatakan bahwa belajar ditekankan kepada penggalian (eksploration), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention). Applying terkait dengan prinsip bahwa dalam belajar, pengetahuan direpresentasikan dalam konteks pemanfaatannya. Cooperating mengharuskan belajar melalui konteks komunikasi interpersonal. Transfering mengacu kepada makna bahwa belajar melalui pemanfaatan pengetahuan dalam situasi atau konteks baru.

Sementara itu, berkaitan dengan strategi pembelajaran kontekstual, Depdiknas (2002b) mengungkapkan bahwa pembelajaran kontekstual harus menekankan pada pemecahan masalah, mengakui adanya kebutuhan pembelajaran yang terjadi pada berbagai konteks, mengontrol dan mengarahkan pembelajaran sehingga siswa menjadi pembelajar yang mandiri, bermuara pada berbagai konteks yang dimiliki siswa, mendorong siswa untuk belajar dari sesamanya, dan menggunakan penilaian autentik.

Agar pembelajaran berjalan secara efektif, seluruh strategi tersebut harus digunakan secara bersama-sama, baik mencakupi semuanya maupun beberapa. Dalam praktiknya, oleh Depdiknas, direkomendasikan untuk dimungkinkan tidak diperlukan perubahan secara drastis dari semua pendidik. Penggunaanya secara terus-menerus dan refleksi dari pembelajaran menyebabkan perluasan dan pendalaman pengetahuan guru dan organisasi sekolah. Karena itu, kepala sekolah, komite sekolah, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya selayaknya mendukung upaya tersebut agar terlihat hasilnya.

Berdasarkan hal di atas, dapat dilihat bahwa pembelajaran kontekstual tidak dapat berjalan dengan baik tanpa dukungan masyarakat. Kerja sama dan dukungan dari masyarakat, khususnya orang tua, dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif sangat diperlukan. Dengan demikian, sekolah dapat memberikan layanan pendidikan yang berkualitas, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas pula. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat.

Pelaksanaan pengambilan keputusan partisipatif oleh warga sekolah yang didukung masyarakat di atas dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan sejalan dengan kebijakan Depdiknas melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan masyarakat. Dalam konteks yang lebih sederhana hal itu disebut MPMBS. Peran masyarakat itu digambarkan sebagai berikut.

Apakah Pembelajaran Kontekstual sesuai dengan KBK?

Tercatat ada beberapa isu strategis yang dikembangkan dalam Kurikulum 2004, yang sebelumnya lebih dikenal dengan KBK, yaitu pengembangan silabus diserahkan kepada guru, pembelajaran berbasis kontekstual, pencantuman lifeskill, dan pelaksanaan penilaian autentik.

Dalam otonomi pendidikan terbuka peluang untuk menciptakan pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas karena pejabat daerah memiliki wewenang yang luas untuk melakukan antisipasi dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di daerahnya (Mudjiharto, 2000; Suyanto, 2001). Kegiatan rekrutmen untuk kepala sekolah, guru, dan siswa; pembinaan profesionalisme guru; penentuan sistem evaluasi; dan sebagainya ditentukan oleh daerah (pemerintah provinsi, sekolah, dan masyarakat) (lihat Stinnett, 1968; Dorros, 1978). Dengan demikian, kualitas hasilnya sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan daerah (lihat Kompas, 2001).

Peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan melalui penciptaan iklim pembelajaran yang kondusif bagi terlaksananya kurikulum yang fleksibel, yakni yang sesuai dengan potensi sekolah. Semangat yang demikian ini ‘ditangkap’ oleh pemerintah melalui penciptaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk menyusun dan mengembangkan silabus mata pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebutuhan dan kemampuan siswa, serta potensi sekolah. Dengan demikian, dimungkinkan terjadi variasi silabus mata pelajaran untuk setiap sekolah. Meskipun demikian, penyusunannya tidak mengurangi kompetensi dasar yang telah ditetapkan berlaku secara nasional.

Penerapan KBK di sekolah harus dihubungkan dengan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan Pendidikan Berbasis Masyarakat Luas (Broad Based Education, BBE) dalam kerangka program peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini penerapan KBK menggunakan konsep BBE yang berorientasi pada kecakapan hidup (Life Skill) dengan mendayagunakan semua potensi sumber belajar yang dimiliki sekolah dan yang ada di sekitar sekolah. Untuk itu, diperlukan restrukturisasi pembelajaran di sekolah dengan cara mengidentifikasi aspek-aspek kecakapan hidup yang akan diajarkan dalam setiap tema, hasil belajar, atau mata pelajaran. Pengidentifikasian ini diperlukan untuk melihat persebaran dan pemerataan serta penekanan yang diperlukan untuk setiap jenjang pendidikan.

Berdasarkan hal itu, tampak bahwa terdapat pergeseran dalam paradigma pendidikan, yakni dari pembelajaran kelompok ke arah pembelajaran individual. Dalam pembelajaran individual setiap siswa dapat belajar sendiri sesuai dengan cara dan kemampuan msing-masing, serta tidak bergantung kepada orang lain (kelompoknya). Untuk itu, diperlukan pengaturan kelas yang fleksibel, sarana yang mencukupi dan beragam, serta pengaturan waktu yang memadai karena dimungkinkan siswa mempelajari konsep yang berbeda dengan sarana dan kecepatan yang berbeda-beda .

Bagaimana Penilaian Dilaksanakan?

Dalam penerapannya, pendekatan pembelajaran kontekstual menggunakan penilaian autentik (authentic assesment). Penilaian autentik merupakan penilaian yang dapat mengukur penerapan pengetahuan di dalam berbagai konteks yang autentik. Penilaian ini bertujuan menyediakan informasi yang benar/sesuai dan akurat mengenai apa yang benar-benar diketahui dan dapat dilakukan siswa. Penilaian ini sekaligus juga memberikan informasi tentang program pendidikan. Penilaian autentik menunjukkan bahwa pembelajaran telah terjadi, menyatu ke dalam proses belajar mengajar, memberikan kesempatan dan arahan kepada siswa untuk maju, serta sekaligus digunakan sebagai alat kontrol untuk melihat kemajuan siswa dan umpan balik bagi praktik pembelajaran.

Penilaian autentik tidak dimaksudkan untuk menggantikan secara penuh model penilaian yang selama ini sering dilakukan, yakni model paper and pencil test, yang secara nyata memiliki banyak kelemahan, tetapi digunakan untuk melengkapinya. Penggunaan berbagai model penilaian akan memberikan gambaran yang representatif pada diri siswa.

Ada beberapa model penilaian autentik. Johnson (2002:166—172) menyebut empat macam penilaian autentik, yaitu portofolio (portfolio), kinerja (performance), proyek (project), dan tanggapan tertulis kritis (extended written response). Sementara itu, Depdiknas (2002b:25—29) juga menunjukkan empat macam penilaian autentik, yakni penilaian kinerja, observasi sistematik, portofolio, dan jurnal sain. Bagi Depdiknas, proyek dimasukkan ke dalam penilaian kinerja, sedangkan tanggapan tertulis kritis sama dengan jurnal sain. Dengan demikian, hanya observasi sistematik yang tidak terdapat pada pendapat Johnson.

Penilaian kinerja dikembangkan untuk menilai kemampuan siswa dalam mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilannya pada berbagai situasi nyata dan konteks tertentu. Penilaian kinerja dapat dipersingkat atau diperluas dalam bentuk pertanyaan terbuka (open-ended question), membaca, menulis, proyek, proses, pemecahan masalah, tugas analisis, atau tugas lain yang memungkinkan siswa mendemostrasikan kemampuannya dalam memenuhi tujuan dan outcome tertentu.

Observasi sistematis digunakan untuk memperoleh informasi tentang dampak aktivitas pembelajaran terhadap sikap siswa. Dalam hal ini setiap siswa diobservasi secara periodik/berkala dalam jangka waktu yang panjang (terus-menerus). Hasil observasi dicatat dan dievaluasi serta digunakan untuk meningkatkan prestasi siswa (Johnson & Johnson, 2002:131).

Portofolio merupakan koleksi atau kumpulan rekaman berbagai keterampilan, ide, minat, dan keberhasilan siswa selama jangka waktu tertentu. Portofolio dapat memberikan gambaran perkembangan kompetentsi siswa dari waktu ke waktu. Dalam hal ini hasil karya atau tagihan siswa dapat dikoleksi dalam suatu file secara kronologis. Dengan demikian, portofolio dapat bermanfaat bagi siswa untuk melakukan penilaian diri (self-assesment) guna melihat kelemahan dan kekuatannya (O’Malley & Pierce, 1996:54).

Jurnal sain merupakan proses refleksi berpikir siswa tentang proses belajar dan hasilnya dalam bentuk penuangan ide, minat, atau pengalamannya melalui tulisan yang ilmiah. Jurnal ini sangat membantu siswa dalam mengorganisasikan pikiran dan menuangkannya dalam bentuk tulisan, grafik, tabel, gambar, dan sebagainya.

Dalam melaksanakan penilaian autentik, ada dua persiapan yang harus dilakukan guru, yakni membuat tugas (task)dan rubrik (rubric) . Tugas adalah perintah, pertanyaan, atau informasi yang memungkinkan siswa melakukan sesuatu yang dikehandaki dalam penilaian. Guru dalam hal ini harus dapat merumuskan tugas yang benar-benar mencerminkan penilaian autentik. Rubrik adalah kriteria penilaian yang digunakan untuk memberikan peringkat, skor, atau kualitas siswa. Rubrik sangat diperlukan karenapada dasarnya penilaian autentik tidak berbentuk objective test. Kriteria dapat ditentukan secara analitik (setiap unsur mendapatkan penilaian tersendiri) dan dapat pula secara holistik (keseluruhan).

Bagaimana Posisi Aspek Kebahasaan (Tata Bahasa) dalam KBK?

Ada banyak orang (guru dan praktisi pendidikan lainnya) beranggapan bahwa dalam KBK tata bahasa tidak mendapatkan porsi yang memadai. Hal itu berbeda dengan yang tampak pada Kurikulum sebelumnya. Pada Kurikulum 1975 tampak sekali bahwa tata bahasa memperoleh porsi yang teratas. Pembelajaran bahasa lebih berorientasi pada pembelajaran tentang bahasa. Pada Kurikulum 1984 peranannya tidak terlalu menonjol, namun kehadirannya masih terasa. Pada Kurikulum 1994 posisinya semakin berkurang, namun dalam GBPP kehadirannya masih tampak. Pada Kurikulum 2004 aspek tata bahasa dicantumkan dalam lampiran.

Berdasarkan hal itu, tampak bahwa tata bahasa tidak memperoleh tempat yang memadai. Sebaliknya, bidang sastra tampak lebih dominan, bila dibandingkan dengan tata bahasa. Padahal, dalam kurikulum sebelumnya, sastra tidak sebanding dengan tata bahasa. Benarkah anggapan bahwa tata bahasa tidak mendapatkan porsi yang memadai tersebut?

Untuk menjawab itu, ada baiknya diperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa secara umum, yakni sebagai berikut: (1) pembelajaran bahasa Indonesia harus diarahkan untuk lebih banyak memberikan porsi kepada perlatihan berbahasa yang nyata; (2) tata bahasa diajarkan hanya untuk membetulkan kesalahan ujaran siswa; (3) keterampilan berbahasa nyata menjadi tujuan utama; (4) membaca sebagai alat untuk belajar (reading for learning); (5) menulis dan berbicara sebagai alat berekspresi dan menyampaikan gagasan; (6) kelas menjadi tempat berlatih menulis, membaca, dan berbicara dalam bahasa ; (7) penekanan pengajaran sastra pada membaca sebanyak-banyaknya karya sastra, dan (8) pengajaran kosa kata harus diarahkan untuk menambah kosa kata anak. Berdasarkan hal itu, tampak bahwa arah pembelajaran bahasa adalah memperbanyak berlatih di dalam kelas dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan situasi, baik yang nyata ‘senyatanya’ melalui diskusi, misalnya, maupun yang nyata ‘tidak senyatanya’, misalnya melalui kegiatan bermain peran.

Sementara itu, prinsip-prinsip pembelajaran tata bahasa adalah sebagai berikut. Pertama, pembelajaran komponen kebahasaan merupakan pelatihan pemahaman dan penggunaan bahasa yang bermakna sesuai dengan keperluan komunikasi. Dalam hal ini kegiatan utama pembelajaran komponen kebahasaan melalui pemberian latihan yang terus-menerus dalam berbagai situasi kebahasaan yang bermakna. Pelatihan itu harus diarahkan untuk mendukung, baik kemampuan aspek pemahaman (menyimak dan membaca), maupun kemampuan penggunaan (berbicara dan menulis). Kedua, pembelajaran komponen kebahasaan terintegrasi ke dalam pembelajaran keterampilan berbahasa. Prinsip ini sebenarnya merupakan implikasi prinsip pertama. Berdasarkan prinsip ini, komponen kebahasaan tidak diajarkan secara mandiri. Contoh-contoh yang disajikan haruslah yang fungsional berdasarkan pengunaannya, baik secara reseptif, maupun produktif. Dengan demikian, pembelajaran komponen kebahasaan terfokus kepada penggunaan bahasa secara fungsional dan bermakna sesuai dengan tujuan dan keperluan komunikasi. Oleh karena itu pula, pembelajaran kebahasaan mengarah kepada kemungkinan variasi-variasi berbahasa. Ketiga, pembelajaran komponen kebahasaan tidak menganut tahap-tahap pembelajaran secara linguistis. Komponen fonologi tidak harus diajarkan lebih dahulu dibandingkan dengan komponen morfologi ataupun sintaksis. Pembelajaran sintaksis, misalnya, harus berlangsung secara terpadu berdasarkan wacana yang kontekstual, fungsional, bermakna, dan bermanfaat, baik bagi siswa maupun lingkungannya. Dengan demikian, contoh-contoh kalimat yang konkret berdasarkan wacana itulah yang dapat menjadi bahan kajian. Dalam hal ini, pemilihan bahan yang tepat menjadi kunci keberhasilan pembelajarannya.

Untuk menjawab secara konkret permasalahan di atas, dapat diikuti uraian berikut ini.

Bagaimana Mengajarkan Tata Bahasa?

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas tampak bahwa tata bahasa itu dapat diajarkan (disajikan) kapan saja (di awal, tengah, akhir pelajaran) dan dalam kondisi apa saja (fokus pembelajaran membaca, menulis, berbicara, maupun mendengarkan). Kehadirannya tidak perlu direncanakan karena tata bahasa diajarkan bila terdapat kesalahan pada pemakaian bahasa siswa. Karena itu, urutannya juga akan beragam antara kelas yang satu dengan yang lain pada level yang sama. Secara konkret begini. Materi untuk level 8, misalnya, dapat saja disajikan pada kelas level 7 saat itu juga jika memang siswa kelas 7 melakukan kesalahan berbahasa yang sesuai dengan level 8. Dengan demikian, guru tidak harus menunda membicarakannya setahun lagi setelah anak duduk di kelas 8. Bagitu pula sebaliknya, kompetensi gramatikal tertentu yang tercantum di level 7, misalnya, tidak harus disajikan apabila ternyata dalam kurun waktu satu tahun siswa kelas 7 tidak mengalami kesalahan dalam berbahasa. Karena itu, kebutuhan pembelajarannya berdasarkan kebutuhan konteks kelas.

Kenyataan tersebut, sebenarnya dapat menepis anggapan di atas karena dengan begitu porsi untuk menghadirkan pembelajaran aspek tata bahasa menjadi sangat tidak terbatas. Yang menjadi masalah adalah apakah guru-guru bahasa Indonesia siap dengan hal ini? Mereka tentu akan merasa harus menyelesaikan materi hari itu (misalnya berbicara) sehingga kemungkinan sekali ada kesalahan berbicara anak yang dengan terpaksa dibiarkan saja. Yang lebih memprihatinkan adalah, barangkali, guru tidak mengetahui bahwa anak melakukan kesalahan. Karena itu, kompetensi guru dalam hal ini dituntut sangat tinggi. Di samping itu, guru harus peka terhadap kesalahan itu.

Jika hal itu dapat terlaksana, bagaimana mengevaluasinya? Evaluasi terhadap aspek tata bahasa dilakukan sebagaimana aspek yang lainnya seperti yang telah dijelaskan di depan. Namun, materi yang harus disajikan dalam ujian akhir tahun, misalnya harus bertumpu pada daftar lampiran yang ada. Meskipun suatu kompetensi tertentu sudah disajikan di suatu kelas, apabila kompetensi tersebut bukan menjadi acuan untuk kelas yang dimaksud, materi itu tidak harus diujikan pada level itu. Sebaliknya, kompetensi yang tercantum dalam lampiran untuk level tertentu dalam kenyataannya tidak pernah diajarkan karena selama kurun waktu satu tahun guru tidak menemukan kesalahan siswa yang terkait dengan hal itu, dalam ujian, kompetensi tersebut harus ditagih.

 

 Bahan Rujukan

Depdiknas. 2002a. Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah: Kebijakan Umum. Jakarta.

Depdiknas. 2002b. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Pembelajaran Kontekstual. Jakarta.

Dorros, Sidney. 1978. Teaching as Profession. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.

Johnson, David W. and Johnson, Rogert T. 2002. Meaningfull Assesment: a Manageable and Cooperative Process. Boston: Allyn and Bacon.

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. Thousand Oaks: Corwin Press, Inc.

Kompas. 2001. Mendiknas Ingin Rekrutmen Guru Tetap oleh Pemerintah Pusat. 18 Januari. Jakarta.

Moedjiharto. 2000. Profesionalisme Guru untuk Merespon Otonomi Daerah. Dalam Media Informasi dan Komunikasi Unesa. Oktober.

O’Malley, J. Michael and Pierce, Lorraine Valdez. 1996. Authentic Assesment for English Language Learners. New York: Addison-Wisley Publishing Company.

Omaggio, Alice C. 1986. Teaching Language in Context. Boston: Heinle & Hienle Publishers, Inc.

Stinnett, T.M. 1968. Proffesional Problems of Teachers. NewYork: The Macmillan Company.

Suyanto. 2001. Guru yang Profesional dan Efektif. Dalam Kompas. 16 Februari. Jakarta.

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL UTAMA

MEMBELAJARKAN DONGENG MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL ALTERNATIF

PENINGKATAN APRESIASI SASTRA 

Oleh: Rusliy  

Pendahuluan

Dengan hati mendongkol teman saya Mahmud putus asa dan malas masuk kerja. Pasalnya, teman-teman dan pimpinan di tempat ia bekerja kurang memperhatikan dirinya. Padahal, dibandingkan dengan teman yang lain, ia termasuk orang yang paling ulet bekerja dan berjasa. Ia juga yang selama ini melahirkan formula-formula baru yang sering dipakai para pimpinannya untuk pengembangan kantornya. Hal itu wajar, karena selama ia menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi mampu memperoleh nilai IPK tertinggi (cumlaude). Banyak temannya yang merasa salut dan terkagum-kagum atas kecerdasan intelektualnya. Namun mengapa tidak mendapatkan perhatian yang layak dari teman-teman dan pimpinannya? Ternyata isu yang berkembang, teman saya ini tergolong manusia “pamer diri” dan sombong.

Di sisi lain, tiap hari rasanya, kita disuguhi, dicekoki, dan dibombardir berita-berita dari koran, televisi, internet, maupun radio yang melaporkan lenyapnya sopan santun, hilangnya rasa aman, kekejian manusia, dan generasi frustasi. Seorang anak membunuh ayahnya tanpa rasa menyesal, dan seorang ayah memperkosa anak gadisnya sendiri dengan dalih hilaf. Rentetan fakta seperti itu mencerminkan meningkatnya instabilitas emosi, keputusasaan, dan rapuhnya moral dalam keluarga atau masyarakat. Seakan-akan perasaan mengalahkan pikiran.

Dari kasus tersebut, Suyatno (2005) menyimpulkan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah biasanya (a) menyikapi kritik yang diberikan kepadanya sebagai serangan pribadi bukan sebagai keluhan yang harus dihadapi, (b) gampang mengkritik tetapi kikir memuji, (c) menganggap diri lebih dari diri orang lain atau egoistis, (d) tidak memperhatikan orang di sekitarnya atau lingkungannya, dan (e) marah menjadi bagian manajemen dirinya.

Dengan demikian, ternayata kecerdasan intelektual tidak cukup bagi seseorang dalam menjalani hidup ini. Mereka membutuhkan kecerdasan emosial. Salah satu piranti yang dapat digunakan untuk mengasah kecerdasan emosional seseorang adalah pembelajaran dongeng yang sekarang ini dikemas melalui pembelajaran sastra. Di dalam pembelajaran inilah persoalan kemanusiaan, pesoalan budaya dibicarakan. Namun, pembelajaran tersebut sampai saat ini pula mengalami problematika yang cukup kompleks. Di antara persoalannya adalah strategi atau pendekatan atau metode yang harus digunakan.

Problematika Pembelajaran Dongeng

Tujuan yang dikemukakan dalam kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah yaitu siswa mempelajari bahasa sebagai alat komunikasi, lebih daripada sekadar pengetahuan tentang bahasa. Pembelajaran bahasa, selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dan bersastra, juga untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar serta kemampuan memperluas wawasan (Depdiknas, 2003:10).

Selanjutnya, dikemukakan bahwa pembelajaran bahasa diarahkan untuk mempertajam perasaan siswa. Siswa tidak hanya diharapkan mampu memahami informasi yang disampaikan secara lugas atau langsung, melainkan juga yang disampaikan secara terselubung atau secara tidak langsung. Siswa tidak hanya pandai bernalar, tetapi juga memiliki kepekaan di dalam interaksi sosial dan dapat menghargai perbedaan baik di dalam hubungan antarindividu maupun di dalam kehidupan bermasyarakat, yang berlatar berbagai budaya dan agama (Depdiknas, 2003:10).

Berdasarkan asumsi di atas, sudah selayaknya pelaksanaan pengajaran bahasa dan sastra di sekolah terutama di tingkat Sekolah Menengah Pertama memanfaatkan dan mengoptimalkan pembelajaran dongeng. Diakui atau tidak, pembelajaran dongeng di sekolah dipandang kurang memberikan makna dalam membangkitkan gairah belajar siswa. Di sisi lain, respon peserta didik terhadap pembelajaran dongeng amatlah rendah. Beberapa pendidik atau guru di sekolah (ditemui ketika melakukan pengamatan awal) mengakui hal itu sebagai bentuk hambatan untuk mendekatkan siswa dengan materi dongeng. Sikap semacam ini perlu didiskusikan untuk menemukan keunggulan dan kelemahannya.

Di sisi lain, kondisi pembelajaran dongeng di sekolah (berdasarkan pengamatan awal) terdeskripsi sebagai berikut: pertama, belum ditemukan model pembelajaran dongeng yang tepat dan relevan. Hal tersebut terjadi karena pembelajaran dongeng di tingkat Sekolah Menengah Pertama relatif baru. Selama ini guru pengajar lebih banyak dibebani dengan pembelajaran bahasa dan sastra dan segala bentuk model pembelajarannya yang tidak relevan dengan konteks pembelajaran saat ini. Kedua, proses belajar mengajar terutama pembelajaran dongeng tampak monoton. Kondisi ini muncul sebagai akibat ketidakmampuan guru dalam memahami pembelajaran dongeng sekaligus karakter peserta didik. Ketiga, belum ada kolaborasi yang serasi antara guru dengan siswa dalam pembelajaran dongeng. Dalam hal ini guru menggunakan otoritas kekuasaan secara penuh. Peserta didik tidak ditempatkan sebagai mitra dalam proses belajar mengajar, melainkan sebagai objek. Akibatnya, peserta didik merasa tidak tertarik dan menciptakan situasi baru yang menurutnya hal itu benar. Keempat, metode yang digunakan masih konvensional. Hal tersebut disebabkan oleh wawasan guru yang sempit tentang strategi pembelajaran dongeng di sekolah. Terkesan ragu dan bingung dalam memilih serta menentukan metode. Kelima, rendahnya kualitas dan hasil pembelajaran apresiasi dongeng. Hal itu merupakan akibat dari ketidakmenarikan pembelajaran dongeng di sekolah. Peserta didik memandang bahwa pembelajaran dongeng hanya bagian kecil dari pembelajaran yang lain, dan hanya merupakan hiburan semata.

Munculnya kondisi pembelajaran demikian, serta sikap apatis terhadap pembelajaran dongeng disebabkan ketidakmampuan mereka memahami hakikat, manfaat dan nilai positif yang terkandung di dalam cerita-cerita dongeng. Dari berbagai kajian banyak diyakini bahwa dongeng terutama cerita rakyat mempunyai nilai lebih daripada sekedar bacaan penghibur saja karena juga bermanfaat bagi perkembangan seorang anak.

Bunanta (1998:52-53) menjelaskan bahwa manfaat yang berkaitan dengan perkembangan holistik berasal dari nilai dalam cerita rakyat yang mengajarkan pada anak bahwa manusia mempunyai rasa cinta, benci, marah, sedih dan gembira, dilahirkan dan mati. Cerita rakyat juga bermanfaat bagi perkembangan emosionalnya karena memberikan suatu dunia fantasi sehingga anak dapat memandang rasa takut dan rasa frustasinya. Di dalam dunia imajiner ini anak berjuang melawan ketidakadilan dan kejahatan serta menjadi pemenangnya. Melalui cerita rakyat anak akan mengalami perkembangan ranah kognitifnya karena cerita rakyat adalah cerminan bermacam-macam kebudayaan yang merefleksikan persamaan dan keunikan setiap kebudayaan. Karena itu, cerita rakyat tidak saja memberi rasa percaya diri dan rasa mampu pada anak, juga memberi pandangan hidup yang berkaitan dengan moralitas. Selain itu, cerita rakyat juga menambah kemampuan berbahasa dan meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra serta mengembangkan kesadaran tentang kebudayaan.

Dengan demikian, pembelajaran dongeng di sekolah memiliki peran yang sangat tinggi untuk mengoptimalkan pembelajaran bahasa dan sastra. Dalam Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah standar kompetensi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara implisit mengakomodasi kompetensi yang dimaksud. Hal tersebut dinyatakan dalam Standar Kompetensi : “Mampu membaca dan memahami berbagai teks bacaan sastra: membaca dan mendiskusikan isi puisi, membaca dan mengomentari buku cerita anak, membaca dan mengomentari buku kumpulan dongeng, dan membaca dan mendiskudikan isi buku cerita anak dan cerita anak terjemahan” (Depdiknas, 2003:25).

Itulah sebabnya, berdasarkan standar kompetensi di atas apresiasi dongeng merupakan salah satu media yang efektif untuk meningkatkan apresiasi sastra siswa. Pembelajaran dongeng sebagai salah satu bentuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di tingkat Sekolah Menengah Pertama merupakan formula pembelajaran yang relatif baru. Tidak seluruh pendidik atau pengajar bahasa dan sastra Indonesia memahami bentuk pembelajaran ini. Bahkan cibiran kadangkala muncul, karena pembelajaran dongeng dianggap set-back ke bentuk pembelajaran klasik.

Diasumsikan bahwa mengajarkan dongeng sama halnya mengajak diri siswa berpikir dan menghayalkan sesuatu yang sia-sia. Membaca buku-buku dongeng juga dianggap sebagai aktivitas yang mubazir, karena dianggap tidak mengajak manusia berpikir ke depan tetapi membuka lembaran-lembaran lama yang relatif tidak relevan dengan kondisi masa kini dan masa yang akan datang.

Padahal menurut Rosidi (1983:91) dongeng-dongeng yang sudah klasik dan yang baru harus mengisi kekosongan yang ada. Indonesia mempunyai khazanah dongeng yang tak tertandingi, tapi belum banyak digarap oleh para puteranya. Bahan-bahan yang ada, masih harus menunggu tangan cekatan yang akan mempergunakannya untuk bacaan anak-anak. Dunia bacaan anak-anak bukanlah dunianya sehari-hari saja, melainkan juga meliputi segala yang sudah lampau sampai yang belum datang.

Kondisi ini diperparah oleh sistem pembelajaran yang salah. Guru masih menggunakan paradigma lama dan tidak mampu mengkonstruksi paradigma baru. Ia terbiasa bergelut dengan buku-buku paket dan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang tidak relevan dengan kondisi siswa. Cerita atau dongeng-dongeng yang diajarkan hanya berupa kutipan atau sinopsis yang ditempel begitu saja sebagai materi dalam buku paket atau LKS. Lebi-lebih dongeng yang dijadikan sebagai acuan adalah materi dongeng yang belum dikenal oleh siswa dan tidak mengacu pada budaya yang dimiliki siswa, di samping karena faktor-faktor lain yang melahirkan sikap apatis dan minimnya rasa interes siswa. Peserta didik tidak memahami muatan-muatan kultur yang ada dalam dongeng yang disajikan, karena muatan kultur tersebut di luar dirinya dan lingkungannya.

Saatnya, seorang guru atau pendidik terutama di tingkat Sekolah Menengah Pertama berolah pikir untuk melahirkan strategi, pendekatan, metode atau teknik yang jitu dalam pembelajaran dongeng sebagai salah satu sarana atau formulasi peningkatan apresiasi sastra di kalangan remaja atau siswa. Seorang guru tentu harus memahami karakter siswa dan karakter bacaan dongeng yang disuguhkan pada mereka.

Sarumpaet (1976:23) menjelaskan rumusan khusus bacaan anak-anak. Menurutnya ada empat titik tolak yang dapat diambil untuk merumuskan secara khusus, salah satu di antaranya adalah bersifat tradisionil yaitu bacaan anak-anak yang tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu kala dalam bentuk mitologi, ceritera-ceritera binatang, dongeng, legenda dan kisah-kisah kepahlawanan yang romantis.

Berdasarkan pendapat tersebut maka bacaan yang disajikan merupakan bacaan dalam bentuk dongeng yang disuguhkan secara utuh kepada siswa. Pendapat ini dapat dijadikan acuan utama untuk memilih dan menyeleksi buku-buku dongeng yang akan disampaikan pada peserta didik. Guru perlu memahami bahwa anak- didik lahir dalam wilayah bertradisi. Secara global, tradisi dalam konteks budaya secara umum memiliki karakter yang sama. Akan tetapi, secara khusus karakter budaya dalam bagian-bagian wilayah memiliki perbedaan yang signifikan. Karakter budaya itu hanya dapat dipahami oleh pemiliknya dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Karena itu, setiap wilayah tentu memiliki bentuk-bentuk kearifan lokal yang mudah dipahami peseta didik. Di sinilah peran guru sangat dibutuhkan dalam menyusun strategi atau pendekatan pembelajaran.

Pendekatan kontekstual yang selalu bermuara pada konteks anak didik merupakan salah satu pendekatan yang layak memberi peluang meningkatkan minat baca siswa melalui pembelajaran dongeng. Cerita atau dongeng yang disajikan merupakan dongeng yang dekat dalam kehidupan siswa atau dalam lingkungan bermain siswa.

Hal tersebut dipertegas oleh Suharianto bahwa tugas seorang guru sastra (terutama dalam pembelajaran dongeng) adalah merangsang minat baca siswa. Karena itu setiap pengajar sastra harus selalu berupaya agar subjek didiknya gemar membaca. Untuk maksud tersebut dapat dilakukan dengan menunjukkan buku-buku yang baik dan harus dibaca, memberikan komentar ringkas mengenai buku-buku yang pernah dibaca, menceritakan isi ringkas buku-buku yang pernah dibaca, menunjukkan tempat mencari buku-buku tersebut dan sebagainya (Suharianto dalam Jabrohim, 1994:76). Pendapat ini mempertegas betapa strategisnya pembelajaran sastra melalui pembelajaran dongeng untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap karya sastra.

Melalui pendekatan kontekstual tersebut juga diharapkan siswa termotivasi untuk membangkitkan ghirah membaca, sehingga memahami nilai-nilai budayanya melalui bacaan tersebut. Dengan adanya korelasi antara muatan bacaan dongeng dengan budaya yang mereka pahami diharapkan tumbuh minat baca secara konstan. Melalui strategi ini pula diharapkan lahir pengembangan minat baca pada buku-buku yang lebih serius.

Ditetapkannya buku-buku dongeng sebagai media peningkatan apresiasi sastra ini, diyakini penulis karena buku-buku dongeng memiliki muatan makna yang cukup beragam. Dari segi isi, sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai tersebut bersifat universal dan global. Untuk mencapai pada tingkat pemahaman yang lebih tinggi terhadap muatan dongeng tersebut seorang pembaca mau tidak mau dituntut merujuk pada literature-literature lain. Dari sinilah siswa dapat diajak dan didorong untuk mendekati, menggemari, memahami, menikmati dan mereaksi buku-buku bacaan lain yang lebih serius.

Buku dongeng lebih disukai pembaca seusia siswa SD dan SMP. Usia tersebut dapat dikategorikan sebagai usia remaja. Bunanta berdasarkan hasil penelitiannya menjelaskan bahwa di Indonesia umur rata-rata anak yang menyukai membaca cerita rakyat adalah anak-anak antara umur enam sampai dua belas tahun. Jumlah yang terbesar berkisar antara umur delapan sampai sepuluh tahun (Bunanta, 1998:28). Dengan demikian, usia pembaca yang dimaksud lebih berfokus pada usia anak Sekolah Dasar. Sementara, siswa SMP berkisar antara usia dua belas sampai dengan tiga belas tahun. Kiranya, siswa kelas VII SMP merupakan siswa yang mempunyai usia pembaca yang relatif wajar untuk menyukai, membaca dan menikmati buku-buku dongeng.

Pembelajaran Berbasis Kompetensi sebagai Karakter KBK

Pembelajaran berbasis kompetensi lahir setelah tuntutan kebutuhan masyarakat semakin mendesak. Adanya berbagai kasus lulusan yang tidak mampu mengembangkan kompetensinya di dunia kerja merupakan awal pemikiran pembelajaran berbasis kompetensi.

Zamroni misalnya, menawarkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik. Paradigma ini menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching), (b) pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel, (c) pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan (d) pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan (Zamroni, 2000:8).

Pembelajaran berbasis kompetensi lahir dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah kurikulum pendidikan yang menjadikan kompetensi sebagai acuan pencapaian tujuan pendidikan (Nurhadi, dkk. 2004:111).

Dengan demikian, pembelajaran ini lebih memperhatikan kompetensi peserta didik. Itulah sebabnya, menurut Endraswara (2003:19) seorang guru dalam pembelajaran kompetensi ini harus memperhatikan beberapa hal seperti (a) mengurangi metode ceramah di depan murid, (b) memberi tugas-tugas yang berbeda antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain sesuai dengan kompetensinya masing-masing.

Lebih lanjut Endraswara menjelaskan di bawah ini.

Secara umum, pembelajaran berbasis kompetensi akan terkondisikan sebagai berikut: pertama, pengajaran berkonteks diskusi kelompok. Pada saat ini, peserta didik diberi kebebasan bertanya, menjawab, dan berbicara sepuas-puasnya asalkan relevan. Kedua, pengajar bukan sumber utama belajar. Pengajar tidak memiliki otoritas kaku, bahwa pendapatnya yang paling benar. Ketiga, pengajaran tidak lagi satu arah dan tidak menyampaikan doktrin-doktrin. Dari tiga suasana kondusif tersebut, tampak bahwa pembelajaran kompetensi menginginkan konteks pengajaran yang partisipatori (Endraswara, 2003:23-24).

Dengan demikian, pembelajaran kompetensi dalam praktiknya menitikberatkan pada ketercapaian kompetensi masing-masing peserta didik, dan tidak menitikberatkan pada ketercapaian materi. Kurikulum 2004 (KBK) yang selama ini banyak diterapkan di sekolah lanjutan memiliki karakter yang serupa. Sementara pembelajaran dongeng terwadahi di dalamnya. Itulah sebabnya, seorang guru dituntut mampu mencermati kompetensi yang dimiliki masing-masing peserta didik.  

Pembelajaran Kontekstual sebagai Salah Satu Model Pembelajaran Berbasis Kompetensi

Pembelajaran kontekstual dijiwai oleh pendekatan kontekstual. Pendekatan ini menitikberatkan pada kebermaknaan konteks. Kebermaknaan tersebut diperoleh melalui konteks diri siswa dan lingkungannya, sehingga tampak lebih menyenangkan. Blanchard (2001:9) mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual pada hakikatnya adalah konsepsi pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan pembelajaran yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Hal tersebut dipertegas oleh Nur (2001:2) bahwa pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam-sekolah dan luar-sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia-nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan.

Karena itu, pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks di mana materi tersebut digunakan, serta berhubungan dengan bagaimana seseorang belajar atau gaya siswa belajar. Konteks memberikan arti, relevansi dan manfaat penuh terhadap belajar (Depdiknas, 2002:8).

Nurhadi dkk (2004:15) memperjelas bahwa yang dimaksud konteks terdapat sembilan konteks belajar yang melingkupi siswa, yaitu konteks tujuan, konteks isi, konteks sumber, konteks target siswa, konteks guru, konteks metode, konteks hasil, konteks kematangan, dan konteks lingkungan.

Dengan demikian pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual ini berupaya menciptakan kondisi pembelajaran alamiah. Siswa diajak mengingat, memahami dan mendalami pengalaman realitasnya dalam konteks yang sebenarnya. Kondisi yang diciptakan merupakan kondisi yang menggembirakan. Belajar penuh makna dan menyenangkan. Hal itu pula yang dikemukakan De Porter dan Hernacki (2002:9) bahwa belajar dapat dan harus menyenangkan.

Selanjutnya, terdapat delapan komponen sistem pembelajaran kontekstual yang harus diperhatikan. Komponen-komponen tersebut meliputi (a) menciptakan hubungan penuh makna, (b) perbuatan didasarkan pada perilaku yang berarti (significant), (c) belajar mandiri, (d) bekerja sama, (e) kritis dan berpikir kreatif, (f) menghargai individu, (g) mencapai standard tertinggi, dan (h) menggunakan penilaian autentik (Johnson, 2002:24).

Searah dengan pendapat di atas, Depdiknas (2002:12-14) mengemukakan beberapa hal yang harus ditekankan dalam pendekatan pengajaran kontekstual yaitu:

(1) belajar berbasis masalah (problem-based learning) yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari mata pelajaran;

(2) pengajaran autentik (authentic instruction) yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata;

(3) belajar berbasis inquiri (Inquiry-Based Learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna;

(4) belajar berbasis proyek atau tugas terstruktur (Project-Based Learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif di mana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topic mata pelajaran dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkonstruk (membentuk) pembelajarannya dan mengkulminasikannya dalam produk nyata;

(5) belajar berbasis kerja (Work-Based Learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di dalam tempat kerja. Jadi dalam hal ini tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa;

(6) belajar jasa-layanan (Service Learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa-layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut, jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa-layanan dan pembelajaran akademis; dan

(7) belajar kooperatif (Cooperative Learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk berkejasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan.

CORD (Center for Research and Development) dalam Ardiana (2001:13-15) mengemukakan lima macam strategi dalam pembelajaran kontekstual yang disebut sebagai startegi REACT yaitu :

(1) Relating

Yang dimaksud dengan konsep ini adalah bahwa belajar itu harus dihubungkan dengan konteks pengalaman manusia.

(2) Experiencing

Experiencing atau mengalami merupakan belajar dalam konteks eksplorasi, penemuan, inkuiri merupakan jantung pembelajaran kontekstual.

(3) Applying

Menerapkan konsep dan informasi dalam konteks yang berguna sering memproyeksikan siswa ke arah masa depan yang diharapkan atau ke tempat kerja yang mungkin tidak akrab.

(4) Cooperating

Cooperating adalah belajar dalam konteks peragihan, dalam konteks saling berbagi pengalaman, penanggapan dan pengkomunikasian dengan pembelajar lain. Ini merupakan strategi pembelajaran utama dalam pembelajaran kontekstual.

(5) Transferring

Belajar dapat dilakukan dengan memanfaatkan pengetahuan yang sudah dimiliki dalam situasi yang baru. Proses belajar semacam ini disebut mentransfer pengalaman atau pengetahuan.

Endraswara (2003:58) menganggap pendekatan kontekstual dalam pembelajaran sastra (termasuk pula pembelajaran dongeng) cukup strategis, karena menghendaki (a) terhayati fakta yang dipelajari, karya sastra benar-benar dimiliki dari aspek kejiwaan bukan verbalistik, (b) permasalahan yang akan dipelajari harus jelas, terarah, rinci, (c) pragmatika materi harus mengacu pada kebermanfaatan secara konkret, dan memerlukan belajar kooperatif dan mandiri.

Itulah sebabnya, proses pengajaran kontekstual yang mendukung Kurikulum Berbasis Kompetensi sekurang-kurangnya tetap memperhatikan dua hal. Pertama, konteks pengajaran sastra selalu memberdayakan lingkungan. Mampu memafaatkan lingkungan peserta didik seoptimal mungkin. Karena itu, apa yang ada di sekeliling mereka harus dibangun dan dipergunakan sebagai rujukan pengajaran sastra. Kedua, pengajaran sastra (termasuk pula pembelajaran dongeng) mestinya berlangsung dalam suasana menyenangkan (Endraswara, 2003:60).

Berdasakan pendapat di atas, maka siswa dapat belajar secara paling baik dalam konteks, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, dalam sesuatu yang terkait dengan kebutuhannya. Belajar terbaik dapat dilakukan dengan mengerjakan pekerjaan itu sendiri dalam proses penyelaman ke dunia nyata secara terus menerus, menggunakan umpan balik, perenungan, evaluasi dan penyelaman kembali. Dengan demikian pendapat-pendapat di atas merupakan teori yang cukup valid sebagai sandaran strategi pembelajaran dongeng dalam upaya meningkatkan apresiasi sastra.

Membelajarkan Dongeng dalam Pembelajaran Sastra

Dongeng dapat diistilahkan dengan cerita rakyat klasik yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat tertentu. Danandjaya (1991:83) memberi batasan tentang dongeng yaitu cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun juga melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral) atau bahkan sindiran. Macculoch dalam Bunanta (1998:22) mendefinisikan cerita rakyat merupakan bentuk tertua dari sastra romantik dan imaginatif, fiksi tak tertulis dari manusia masa lampau dan manusia primitif di semua belahan dunia.

Selanjutnya Danandjaya membagi jenis-jenis dongeng ke dalam empat golongan besar, yaitu (a) dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar. Binatang-binatang itu dalam cerita jenis ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia, (b) dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang, (c) lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati, sehingga menimbulkan ketawa bagi yang mendengarkan maupun yang menceritakan, dan (d) dongeng-dongeng berumus adalah dongeng-dongeng yang mempunya subbentuk seperti dongeng bertimbun banyak, dongeng untuk mempermainkan orang, dan dongeng yang tidak mempunyai akhir (Danandjaya, 1991:86).

Bettelheim dalam Bunanta (1998:22) juga menjelaskan bahwa dalam banyak hal dari seluruh bentuk sastra anak-anak, tak ada yang memperkaya dan memuaskan, baik anak maupun orang dewasa, selain cerita rakyat. Meskipun cerita rakyat hanya sedikit mengajarkan keadaan kehidupan masa kini, dari cerita rakyat dalam batas pemahaman anak, lebih banyak dapat dipelajari inti masalah umat manusia dan pemecahan yang tepat dari keadaan yang sukar dibandingkan cerita lain.

Dongeng untuk anak-anak tentu disesuaikan dengan karakter bacaan anak-anak. Sarumpaet 1976 (23) menentukan karakter bacaan anak-anak sebagai rumusan khusus yaitu:

(a) tradisionil; bacaan anak-anak adalah yang tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu kala dalam bentuk mitologi, cerita-cerita binatang, dongeng, legenda dan kisah-kisah kepahlawanan yang romantis;

(b) idealistis; bacaan anak-anak harus bersifat patut dan universal, dalam arti didasarkan pada bahan-bahan terbaik yang diambil dari zaman yang telah lalu dan karya-karya penulis terbaik masa kini;

(c) populer; bacaan anak-anak adalah bacaan yang bersifat menghibur, sesuatu yang menyenangkan anak-anak;

(d) teoretis; bacaan anak-anak adalah bacaan yang dikonsumsi anak-anak dengan bimbingan dan pengarahan anggota-anggotan dewasa suatu masyarakat, sedang penulisannya juga dilakukan oleh orang-orang dewasa.

Dengan demikian, dongeng sebagai cerita anak-anak memiliki karakter dan ciri khusus, di samping juga memiliki fungsi dan nilai yang cukup bermakna dalam mengembangkan kepribadian dan perilaku anak.

Sementara itu, membelajarkan dongeng pada dasarnya merupakan salah satu upaya meningkatkan apresiasi siswa. Istilah apresiasi menurut Aminuddin (2002:34) berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Dalam konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut Gove dalam Aminuddin (2002:34) mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang.

Dengan demikian, apresiasi dongeng merupakan bentuk penghargaan terhadap karya-karya yang berupa dongeng. Penghargaan terhadap dongeng memiliki makna pemahaman yang abstrak. Penghargaan dapat diwujudkan melalui ranah mengenali, menikmati dan memahami. Tjahjono (2000:11) mengupas ketiga ranah tersebut. Ranah mengenali yang paling sederhana adalah membaca dongeng. Tanpa aktivitas semacam itu mustahil mampu mengenali dongeng. Menikmati merupakan kegiatan jiwa, aktivitas rohani. Dalam langkah ini berusaha mencerna makna sebuah dongeng. Penikmatan yang berhasil akan membawa pada situasi memahami sebuah karya dongeng.

Penikmatan terhadap karya dongeng tersebut tidak serta-merta diperoleh. Pembiasaan mengapresiasi dongeng melalui mendengarkan, membaca, menulis dan berbicara merupakan alternatif strategi yang paling jitu. Persoalannya, pembelajaran dongeng sampai saat ini tidaklah berdiri sendiri sebagai mata pelajaran. Pembelajaran dongeng dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk SMP merupakan bagian kecil dalam blok pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Itulah sebabnya, peningkatan apresiasi dongeng siswa hanya dapat diupayakan melalui pembelajaran sastra.

Pembelajaran Dongeng sebagai Sarana Pengembangan Minat Baca

Teori-teori tentang minat baca relatif kering. Amat sedikit buku-buku yang mengupas tentang hal tersebut. Padahal tuntutan membaca merupakan kebutuhan yang tidak sewajarnya diabaikan. Tentu berbeda antara seseorang yang memilki minat baca tinggi dengan mereka yang memiliki minat baca rendah.

Nurhadi (1987:14) mengemukakan bahwa seseorang yang mempunyai minat dan perhatian yang tinggi terhadap bacaan tertentu, dapat dipastikan akan memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap topik tersebut. Demikian pula penelitian hubungan antara tujuan membaca dan perubahan gerak mata pada waktu membaca.

Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa minat baca akan menentukan sikap dan kualitas seseorang. Berdasarkan hasil pengamatan, perhatian dan minat baca seseorang ikut menentukan seseorang mampu berproduksi dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Terkait dengan hal tersebut minat baca seseorang sesungguhnya dapat dirangsang dan ditumbuhkan, baik melalui dukungan internal maupun dukungan eksternal. Khusus pemupukan kegiatan membaca di lingkungan siswa, Suharianto dalam Jabrohim (1994:77) menjelaskan bahwa memupuk dan memelihara kebiasaan membaca dapat dilakukan dengan (i) menyuruh subjek didik untuk membuat catatan mengenai buku-buku yang pernah dibacanya; yang mencakup judul, nama pengarang, tahun penerbitan, nama penerbit, tanggal dibaca, sinopsis ceritanya dan sebagainya, (ii) memeriksa dengan tertib semua catatan subjek didik, dan (iii) menyediakan buku latihan khusus untuk kegiatan tersebut.

Untuk hal di atas, perlu diperhatikan penentuan bahan bacaan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah (i) bahan harus valid, (ii) bermanfaat, (iii) sesuai dengan kemampuan subjek didik, (iv) sesuai dengan perkembangan jiwa subjek didik, dan (vi) menarik (Suharianto dalam Jabrohim, 1994:77).

Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa minat baca dapat ditumbuhkan, ditingkatkan dan dikembangkan. Peningkatan minat baca ini dapat didalami dan diukur melalui minat baca anak terhadap dongeng.

Implementasi Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Dongeng  

Permasalahan pokok dalam kajian ini adalah rendahnya apresiasi siswa terhadap pembelajaran dongeng. Dengan demikian perlu upaya untuk meningkatkan pembelajaran tersebut. Peningkatan tersebut akan tampak dari respon siswa terhadap pembelajaran dongeng. Untuk melakukan upaya peningkatan ini, kiranya pendekatan kontekstual merupakan alternatif yang tepat untuk dijadikan landasan utama.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual merupakan segala bentuk aktivitas akademik yang dihubungkan dengan dunia nyata siswa. Itulah sebabnya, pembelajaran dongeng berbasis pendekatan kontekstual dilaksanakan dengan melihat konteksnya.

Merujuk pada pendapat Nurhadi, dkk (2004:15) ada sembilan konteks belajar yang melingkupi siswa yaitu konteks tujuan, konteks isi, konteks sumber, konteks target siswa, konteks guru, konteks metode, konteks hasil, konteks kematangan, dan konteks lingkungan.

Penerapan teori tersebut dijelaskan sebagai berikut (1) konteks tujuan; dalam hal ini tujuan apa yang ingin dicapai melalui pembelajaran dongeng. Tentu tujuan utama adalah siswa memahami dan menerapkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita dongeng, (2) konteks isi; hal ini berkaitan dengan materi yang digunakan dalam proses belajar-mengajar. Materi yang dipilih relevan dengan konteks kehidupan siswa atau budaya yang dimiliki siswa, (3) konteks sumber; sumber belajar mana yang dapat dimanfaatkan? Dalam pembelajaran dongeng seorang pewaris dongeng merupakan sumber utama yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya pemahaman siswa terhadap dongeng dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, (4) konteks target siswa; konteks ini berkaitan dengan siapa yang akan belajar. Karakteristik siswa menjadi hal utama yang harus dipikirkan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran dongeng. Dalam hal ini, etnis siswa dan pewaris budaya patut dipertimbangan, (5) konteks guru; mempertimbangkan potensi dan profesionalitas seorang pengajar dalam mengajarkan dongeng, sekaligus memahami nilai-nilai budaya yang terkadung di dalamnya, (6) konteks metode; mempertimbangkan strategi yang relevan untuk meningkatkan apresiasi dongeng siswa. Itulah sebabnya, siswa belajar dengan baik jika mereka belajar secara aktif, holistik dan guru menggunakan pendekatan yang memungkinkan siswa menggunakannya dalam praktik. Siswa perlu sering menggunakan strategi belajar kooperatif sehingga mereka dapat meraih hasil belajar tinggi melalui percakapan yang substansial. Dengan strategi ini siswa mendiskusikan nilai-nilai yang terkandung dalam dongeng, (7) konteks hasil; hasil belajar siswa diukur dengan penjajagan terhadap kemampuannya mengkorelasikan perilaku dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam dongeng dengan budaya yang dimiliki masyarakat dalam kehidupan nyata. Kinerja yang diharapkan dari siswa harus diartikulasikan secara baik dan diindikasikan dalam silabus untuk siswa maupun guru, (8) konteks kematangan; mempertimbangkan usia siswa untuk melaksanakan pembelajaran dongeng dengan berbasis pendekatan kontekstual, (9) konteks lingkungan; dalam hal ini lingkungan belajar harus dikenali oleh siswa. Untuk peningkatan apresiasi dongeng, lingkungan yang representatif adalah lingkungan yang relevan dengan jenis etnis siswa atau masyarakat yang hidup di lingkungan tersebut.

Berdasarkan hal di atas, maka peningkatan apresiasi dongeng dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Pembelajaran tentang dongeng ini diimplementasikan melalui pembelajaran sastra. Hal tersebut sesuai dengan rujukan pengajaran yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi atau Kurikulum 2004 di SMP dan MTs. Itulah sebabnya, di dalam penyelenggaraan pembelajaran dongeng terutama dalam upaya meningkatkan apresiasi dongeng siswa ini pada dasarnya untuk membantu melahirkan dan meningkatkan empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Empat keterampilan berbahasa tersebut secara ekspilisit termuat di dalam pembelajaran sastra (Kurikulum 2004 SMP dan MTs). Sedangkan model pembelajaran kontekstual berbasis pada pembelajaran alamiah dan kehidupan nyata.

Pembelajaran tersebut dapat dilaksanakan dengan aktivitas sebagaimana di bawah ini.

1) Memilih naskah dongeng yang relevan

Dongeng memiliki banyak ragam. Karena itu, seorang guru dituntut memiliki kemampuan dan kepekaan untuk memilih, menemukan dan menggunakan naskah dongeng secara selektif. Memilih dongeng membutuhkan kecermatan. Beberapa hal penting menurut Endraswara (2003:270) dalam memilih dongeng adalah (a) tuntutan keinginan peserta didik, (b) kondisi peserta didik dan lingkungan sekitar, serta (c) nilai atau pesan dongeng. Dengan demikian, konteks budaya terutama yang relevan dengan budaya peserta didik akan lebih bermakna dalam pembelajaran dongeng.

2) Menggunakan model

Penggunaaan model menjadi amat penting, ketika pembelajaran kontekstual harus diimplementasikan dalam pembelajaran dongeng. Guru yang tidak memiliki bakat mendongeng dapat membawa model pendongeng di depan peserta didik. Keuntungan yang diperoleh, dapat mengeleminasi kejenuhan atau kebosanan peserta didik dalam belajar. Hadirnya pendongeng (orang lain) di kelas akan membawa keunikan dan akan melahirkan kemenarikan peserta didik. Lebih-lebih ketika model yang dibawa ke kelas adalah pewaris atau ahli di bidang tersebut. Peserta didik berhadapan langsung dengan pewarisnya atau yang ahli di bidangnya, sekaligus mendapatkan informasi secara otentik. Melalui penggunaan model ini pula peserta didik memiliki pemahaman budaya yang orisinal dari pewarisnya. Dimungkinkan akan lahir keakraban, kejujuran, keyakinan, dan nilai-nilai positif lainnya.

3) Pemeranan Peserta Didik

Pelibatan peserta didik dalam aktivitas belajar akan meningkatkan rasa percaya diri mereka. Pelibatan ini merupakan bentuk apresiasi seorang guru terhadap kompetensi yang dimiliki masing-masing peserta didik. Pemeranan peserta didik merupakan salah satu pelibatan mereka dalam proses belajar menagajar. Hal itu dapat dilakukan dengan diawali pemberian tugas pada peserta didik untuk memodifikasi naskah dongeng yang dibaca atau disimak menjadi skenario cerita atau naskah drama (fragmen). Aktivitas ini dilakukan berkelompok. Karena itu, strategi pembelajaran kooperatif akan terimplementasi di dalam pemeranan peserta didik tersebut. Hasil modifikasi naskah dongeng, kemudian dapat digunakan untuk bermain peran. Masing-masing anggota kelompok mengambil peran memposisikan diri sesuai dengan peran tokoh yang ada dalam naskah. Lantas, masing-masing kelompok bermain peran di depan kelompok yang lain. Dapat dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas.

Di sisi lain, pemeranan dapat dilakukan secara individual. Berdasarkan naskah dongeng yang dibaca atau dongeng yang disimak, peserta didik diminta meceritakan kembali atau mendongeng di depan peserta didik yang lain. Pemahaman terhadap naskah pada aktivitas ini harus mendalam, kendati kelemahan yang paling tampak adalah keterbatasan waktu. Tidak mungkin seluruh peserta didik dapat ditampilkan dan diberi kesempatan. Karena itu, butuh waktu yang cukup luas dan panjang untuk mengoptimalkan peran peserta didik dalam prose belajar mengajar tersebut.

Membelajarkan dongeng melalui pendekatan kontekstual di dalam kajian ini sangat dimungkinkan melahirkan dan meningkatkan kemampuan apresiasi siswa terhadap karya-karya sastra yang lain. Ketertarikan siswa terhadap dongeng merupakan awal untuk melahirkan minat baca siswa terhadap karya-karya sastra . Jika kegiatan tersebut dapat dioptimalkan, maka akan lahir dan mengkonstruksi sebuah nilai. Entah, nilai cinta kasih, nilai kebersamaan, nilai kekeluargaan, nilai sosial, dan nilai-nilai yang lain.

Dengan demikian, bersumber pada model pembelajaran kontekstual, lahirnya nilai dalam pembelajaran dongeng menekankan pada terbentuknya perilaku siswa yang berbudaya yang relevan dengan warisan budaya leluhur. Dengan model pembelajaran ini diyakini mampu membentuk keperibadian yang kuat dan ideal serta melahirkan budi pekerti yang agung.

PENUTUP

Rasanya tidak mungkin kita terus-menerus dalam kegamangan di dalam kondisi yang dianggap telah mapan. Biasanya kemapanan inilah yang kadangkala membuat para pendidik kita enggan melakukan perubahan. Tetapi ini harus kita mulai. Dongeng tentang leluhur kita telah bertebaran di mana-mana, nilai yang dikandungnyapun amat tinggi. Kita bahkan tidak mengerti dan tidak paham bahwa aktivitas leluhur kita selalu mengedepankan sisi kreativitas kemanusiaan (humanisme). Sementara dalam era sekarang kita cenderung mendekonstruksi nilai-nilai agung tersebut. Tentu generasi kita tidak boleh dibiarkan menghancurkan. Saatnya kita melakukan sesuatu untuk mempertahankannnya.

Yang paling efektif bagaimana mengoptimalkan peran pendidikan dengan segala bentuk atau model pembelajarannya. Pendekatan kontekstual merupakan alternatif pembelajaran yang berbasis pada kompetensi dan konteks peserta didik yang akan mendekatkan diri siswa dengan lingkungannya dan nilai-nilai budaya yang dimiliki. Dengan upaya tersebut, apresiasi peserta didik terhadap dongeng, khususnya terhadap karya sastra akan lebih meningkat dan bermakna.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ardiana, Leo Idra. 2001. Perangkat Pembelajaran Kontekstual Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas I Sekolah Lanjutan Tingkatan Pertama Rencana Pembelajaran: Laporan Penelitian. Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.

Blanchard, Allan. 2001. “Contextual Teaching and Learning”, B.ES.T.

Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Rakyat. Jakarta: Balai Pustaka.

Depdiknas. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Buku 5 Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.

DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2002. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.

Endraswara, Suwardi. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra: Sastra Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: Kota Kembang.

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc.

Nurhadi. 1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung-Malang: Sinar Baru-YA3.

Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM Press.

Nur, Mohamad. 2001. Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual. Makalah Tidak Dipublikasikan.

Rosidi, Ajip. 1983. Pembinaan Minat Baca, Bahasa dan Sastera. Surabaya: Bina Ilmu

Sarumpaet, Riris K. 1976. Bacaan Anak-anak. Jakarta: Pustaka Jaya.

Suharianto, S. 1994. “Metode Pengajaran Sastra: Selayang Pandang”, dalam Pengajaran Sastra. Jabrohim (Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar-FPBS IKIP Muhammadiyah Yogyakarta.

Suyatno. 2005. Metode Kontekstual sebagai Alternatif Pemecahan Problematika Pembelajaran Sastra. Makalah Tidak Dipublikasikan.

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

 

Tentang Penulis

RUSLIY, lahir di Pulau Masalembu 10 Agustus 1971. Saat ini tercatat sebagai staf pengajar dan Pembantu Ketua Bidang Akademik STKIP PGRI Sumenep. Akhir-akhir ini lebih menekuni bidang penelitian kebahasaan dan kesasatraan, folklore serta kependidikan. Beberapa penelitian yang dilaksanakan secara kolaboratif adalah Pemetaan bahasa Madura, Karakteristik Cerita Rakyat Jawa Timur (sebagai pengolah data), Potret Perempuan Pengarang dalam Karya Sastra Indonesia Mutakhir, Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi di Sumenep, Model Pemberdayaan Masyarakat Sumenep dalam Otonomi Pendidikan (dalam proses penyelesaian). Satu-satunya karya yang pernah diterbitkan adalah kumpulan puisi dalam antologi bersama Kampung Indonesia Pasca Kerusuhan (maaf tidak terbit lagi). Pria yang punya cita-cita hanya kawin satu kali ini juga sedang menempuh pendidikan Program Pascasarja (S2) di Unesa Surabaya (proses penyelesaian tesis). Penelitian yang sedang dipersiapkan untuk tesis adalah Peningkatan Apresiasi Dongeng Melalui Pendekatan Kontekstual.

 

 

 Back To Daftar Isi

DARI KBK KE INOVASI:

MENEMBUS KEMANDEGAN PENDIDIKAN KITA

Oleh Abd. Kadir

Abstraksi

Ketika kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan: masih adakah harapan untuk menembus kemandegan pendidikan kita, barangkali jawabnya: Ada! Dan sekaranglah saatnya kita berharap dapat menembus kemandegan itu. Meskipun begitu, kita tidak hanya sekadar berharap tetapi juga melakukan serangkaian langkah yang bisa dijadikan alternatif untuk menuju keberhasilan pendidikan kita. Kita perlu membenahi pendidikan kita mulai dari berbagai sisi, dan untuk itu mungkin kita bisa berangkat dari kurikulum yang baru yakni kurikulum 2004 yang dikenal dengan KBK. Dalam KBK, sebenarnya ada upaya menuju proses perubahan yang ingin dicapai secara komperhensif. Untuk itu, proses yang ada perlu didukung oleh keseriusan dan kesungguhan stakeholder sekolah, khususnya guru dan pengelola sekolah serta masyarakat untuk bersama-sama dengan sadar dan ikhlas melaksanakan perubahan/pembaharuan ini dengan tidak mengabaikan proses peningkatan kemampuan personal sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upaya pembaharuan ini, karena hal ini merupakan ‘jawaban pasti’ untuk sebuah kemajuan menuju masa depan yang telah ditawarkan KBK khususnya dalam proses pembelajaran.

 Pendahuluan

Apa yang mengemuka dalam judul tulisan ini, terinspirasi dari sebuah tema1 yang ada dalam brosur karya tulis ilmiah tingkat guru yang diadakan STAI Al-Khairat Pamekasan beberapa waktu lalu. Tampaknya, munculnya tema seperti itu memberikan pemahaman yang menarik pada kita. Setidaknya ada hal yang patut dicermati bahwa selama ini, banyak kalangan yang masih gamang dengan realitas pendidikan kita. Kemandegan, sebagaimana tema karya tulis yang diungkap tadi dengan serta merta mengemuka sebagai sebuah ungkapan yang sebenarnya tidak boleh terjadi, apalagi dalam dunia pendidikan, karena bagaimanapun langkah kita semestinya tidak ‘terhenti’ dalam memberikan pencerahan pendidikan khususnya kepada generasi kita.

Barangkali sekaranglah saatnya kita berharap dapat menembus kemandegan pendidikan kita. Meskipun begitu, kita tidak hanya sekadar berharap tetapi juga melakukan serangkaian langkah yang bisa dijadikan alternatif untuk menuju keberhasilan pendidikan kita. Kita perlu membenahi pendidikan kita mulai dari berbagai sisi, dan untuk itu, mungkin kita bisa berangkat dari kurikulum yang baru yakni kurikulum 2004.

Kita sadar bahwa saat ini sudah tersaji di depan kita seperangkat kurikulum yang dikenal kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (selanjutnya disebut KBK). Namun, kiranya, untuk sejenak, lupakan dulu ungkapan klasik bahwa setiap ganti menteri (pendidikan) selalu terjadi pergantian kebijakan di bidang pendidikan, khususnya menyangkut kurikulum. Lupakan pula untuk sejenak silang pendapat yang mengikutinya yang selama ini terkadang malah naik ke panggung utama pentas pendidikan nasional, menggeser isu pokok yang sesungguhnya tentang bagaimana upaya meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air, Meski kita lihat Drost (2005) misalnya, mengungkapkan bahwa kurikulum berbasis kompetensi tidak ada dan karena tidak mungkin ada karena yang ada dalah kurikulum bertujuan kompetensi, atau Darmaningtiyas (2005) yang memaparkan tentang adanya pola pemahaman yang seragam tentang KBK di berbagai wilayah di tanah air ini, bahwa KBK sebagai sebuah ‘agama baru’ identik dengan bahasa Inggris dan komputer. Kita mencoba sejenak untuk melupakan polemik ini. Kita masuk dalam esensi yang sebenarnya ditawarkan dalam KBK sehingga tidak menjadi wacana verbal yang mengambang dalam pemahaman kita.

Kalau mulai tahun 2004 ini pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional memutuskan memberlakukan kurikulum baru (lagi), yang kali ini berlabel KBK, persoalannya tidaklah semata-mata soal ganti menteri ganti kebijakan. Di balik itu ada persoalan lain yang jauh lebih mendasar.

Dari namanya saja sudah terlihat ada sesuatu yang lain. Selama ini, sejak Indonesia merdeka, kita hanya mengenal nama kurikulum sesuai tahun penerapannya. Di awal kemerdekaan kita mengenal Kurikulum 1947, kemudian mengalami perubahan pada Kurikulum 1964. Kurikulum ini hanya bertahan empat tahun, sebelum akhirnya pemerintah menerapkan Kurikulum 1968 sebagai penggantinya. Tujuh tahun kemudian muncul Kurikulum 1975, lalu diganti Kurikulum 1984, dan berganti lagi menjadi Kurikulum 1994. Akan tetapi, kali ini nama kurikulum pengganti yang digagas sejak awal oleh Depdiknas bukan Kurikulum 2004 misalnya, melainkan Kurikulum Berbasis Kompetensi, meski kemudian tetap diberi sebutan tahunnya, menjadi kurikulum 2004 (Prihandoko, 2003).

Substansi KBK: Perubahan Paradigma Pembelajaran

Ada dua alasan pokok yang dijadikan landasan mengapa pemerintah perlu segera mengganti kurikulum 1994. Pertama, kurikulum 1994 dipandang—baik oleh pemerintah maupun para ahli pendidikan—gagal membentuk manusia-manusia Indonesia yang cerdas, mandiri, kreatif, dan inovatif. Kedua, pemerintah berusaha melihat kebutuhan ke depan yang mendesak, menatap perubahan-perubahan zaman akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berdampak pada perubahan-perubahan tatanan kehidupan manusia di jagat ini (Asman, 2003).

Ide lahirnya KBK didasarkan pada pemikiran bahwa bakat dan kemampuan peserta didik pada tiap jenjang dalam satuan pendidikan berbeda-beda sehingga diperlukan suatu kurikulum yang memungkinkan setiap anak didik memiliki kompetensi dasar sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing. Kurikulum lama dianggap telah tidak memadai lagi untuk mencapai tujuan pendidikan modern (Dharma, 2005).

Pada dasarnya kurikulum ini hanya dilihat sebagai acuan dasar yang harus diterjemahkan lebih jauh oleh guru dengan melihat potensi masing-masing anak. Guru bertindak sebagai fasilitator dengan siswa sebagai subjek. Siswa harus aktif mempresentasikan ide-idenya, mencari solusi atas masalah yang dihadapi dan menentukan langkah-langkah yang harus diambilnya.

Tujuan utama KBK adalah memandirikan atau meberdayakan sekolah dalam mengembangkan kompetensi yang akan disampaikan kepada peserta didik, sesuai dengan kondisi lingkungan (Mulyasa, 2002). Oleh sebab itu, perlu disadari bahwa KBK menuntut adanya perubahan paradigma dari guru. Guru tidak lagi bertumpu pada paradigma lamanya yang menganggap dirinya sebagai pusat kegiatan dan tujuan perubahan. Tidak ada lagi kegiatan :

Harus ada perubahan mendasar pada konsep, metode dan strategi sekaligus penilaian dalam mengajar termasuk assesmennya. Selain itu, KBK juga menuntut guru untuk familiar dengan teknologi informasi, dapat mengakses internet, akrab dengan ilmu pengetahuhan, teknologi dan seni, memahami hubungan antara bidang studinya dengan bidang studi lainnya dan terutama adalah penerapannya dalam kehidupan nyata.

Klaim di atas didasari oleh realitas yang tampaknya perlu untuk disikapi secara arif bahwa, pertama, peserta didik adalah sesuatu yang unik. Artinya, bahwa peserta didik memiliki kelebihan dan kelemahan maisng-masing. Oleh karena itu, proses penyeragaman dan penyamarataan akan ‘membonsai’ keunikan tersebut. Padahal, keunikan itu harus diberi tempat dan dicarikan peluang agar dapat lebih berkembang.

Kedua , anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil. Jalan pikir anak tidak selalu sama dengan jalan pikir orang dewasa. Orang dewasa harus dapat menyelami cara merasa dan berpikir anak-anak. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, pendidik memberikan materi pelajaran lewat ceramah seperti yang mereka peroleh dari bangku sekolah yang pernah diikuti.

Ketiga , dunia anak adalah dunia bermain. Tetapi, materi pelajaran banyak yang tidak disajikan lewat permainan.

Keempat, usia anak merupakan usia yang paling kreatif dalam hidup manusia. Namun, dunia pendidikan tidak memberikan kesempatan bagi kreativitas.

Berangkat dari pemahaman di atas, jika guru dianggap sebagai seorang yang kreatif, selayaknya ia memiliki karakter yang dapat mendukung statusnya. Ia akan memiliki keterbukaan terhadap pengalaman baru; kelenturan dalam berpikir; kebebasan dalam ungkapan diri; menghargai fantasi; mempunyai minat terhadap kegiatan kreatif; memiliki kepercayaan terhadap gagasan sendiri; memiliki kemandirian dalam memberikan pertimbangan sendiri (Suyatno, 2004).

Di sini akan tampak bahwa dengan proses di atas, kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan akan mencerminkan suasana enjoyfull learning. Inilah yang sebenarnya diharapkan siswa. Kesenangan dalam mengikuti pelajaran ini ditentukan dengan bagaimana strategi dan model pembelajaran yang dapat dipakai guru dalam memberikan materi kepada siswa, karena pada dasarnya kreativitas guru dalam meramu pembelajaran (dengan model-model yang menyenangkan) akan menjadi bagian penting dalam pembelajaran. Intinya, bahwa inovasi yang diterapkan guru dalam pembelajaran menjadi sesuatu yang niscaya ketika kita betul-betul ingin memberikan yang terbaik kepada siswa kita.

Tidak layak lagi ketika seorang guru hanya menjadi satu-satunya sumber yang seolah-olah ‘serba tahu’ di depan kelas tanpa mempedulikan kemampuan yang dimiliki siswa. Bukan waktunya lagi seorang guru hanya berceramah sepanjang hari tanpa melihat realitas bahwa siswanya sudah tidak lagi interes dengan pelajarannya. Di sini diperlukan kreativitas untuk bias memberikan rangsangan yang dapat memberikan motivasi dan kesenangan siswa dalam belajar. Kreativitas ini tercermin dalam bventuk inovasi yang kita bawa dalam pembelajaran. Apakah inovasi ini berupa inovasi materi ataukah berupa inovasi model pembelajarannya. Kita dapat mengaitkan materi matematika dengan agama, mislanya untuk memasukkan pemahaman budi pekerti di bidang matematika, fisika atau bidang eksak yang lain. Hal ini untuk memberikan jawaban bahwa eksak tidaklah bertentangan dengan agama, tetapi memiliki korelasi yang kuat dengan agama. Atau, kita dapat memanfaatkan alam yang ada di sekitar kita untuk dijadikan media pembelajaran. Lingkungan, misalnya sangatlah menarik untuk dijadikan laboratorium alamiah pembelajaran. Atau kita juga dapat memanfaatkan media yang lain untuk memberikan nuansa baru dalam pembelajaran kita. Kita bisa menggunakan kartu, gambar, atau perangkat teknologi modern dan yang lainnya (sebagai media), atau kita dapat melakukan permainan, atau model-model yang melaksanakan pembelajaran. Semuanya tergantiung kreativitas guru yang pada akhirnya dimaksudkan untuk memberikan kesenangan pada siswa.

Dalam kondisi demikian siswa tidak akan merasa tertekan dan terintervensi untuk melaksanakan pembelajaran di sekolah. Sekolah tidak lagi menjadi ‘penjara’ yang menakutkan bagi siswa (Topatimasang, 2002).

Selama ini sekolah menjadi ajang para guru untuk mendongengkan kekuasaan. Selain itu juga sebagai tembok penjara yang diisi dengan indoktrinasi nilai baik oleh guru dan dijadikan sarana memanggungkan kekuasan orang dewasa (Shodiq, 2005). Akibatnya, muncullah gejala descholling/“kematian sekolah”. Padahal sekolah sebagai tempat proses pendidikan memiliki peran yang vital dalam upaya pemanusiaan manusia.

Dengan KBK ini, paradigma yang perlu dikembangkan tidaklah seperti yang dipaparkan di atas. Perlu pergeseran paradigma sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi. Sekolah sebagai penjara dapat segera diubah menjadi tempat yang menyenangkan dan pemanggungan kekuasan juga perlu digeser menjadi penghargaan individu.

Bagaimanapun juga ketika siswa merasa nyaman dan tenang di sekolah proses pembelajaran akan lebih mudah untuk dirsapi oleh siswa. Begitu juga bahwa hukuman sebagai bentuk dari kesewenang-wenangan guru tidak akan meningkatkan motivasi belajar siswa, bahkan akan semakin memberikan jarak yang cukup signifikan dengan guru dan materi yang diajarkan. Oleh sebab itu penghargaan, pujian tampaknya menjadi hal yang niscaya untuk diberikan kepada siswa.

Dalam hal indoktrinasi, siswa perlu diupayakan untuk membangun sendiri, bukan ‘dicekoki’, karena siswa bukanlah ‘bank’ yang dapat dijadikan tempat menyimpan ‘deposito’ pengetahuan guru. Siswapun tidak hanya diminta untuk menghafal saja melainkan juga mengalami. Hal ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan Conficius 2400 tahun yang lalu (dalam Silbermen, 2000) bahwa apa yang saya dengan, saya lupa; apa yang lihat saya ingat; apa yang saya lakukan saya paham. Ini yang mendasari lahirnya paradigma konstruktivisme dalam KBK.

Secara gradual memang ada yang perlu dipahami bahwa dalam kurikulum 1994 paradigma yang dikembangkan sebagaimana dipaparkan Shodiq (2005), bahwa sebelum mengajar yang dipertanyakan adalah “saya mengajarkan apa dan setelah mengajar “mereka tahu apa” dengan proses belajar mengajar “mendengarkan”. Sementara untuk kurikulum 2004 ini dengan paradigma, “saya mengembangkan kemampuan apa”, “mereka mampu apa”, dan prosesnya dengan “mengerjakan/mengalami”—dengan konsekuensi, kompetensi yang ingin dicapai sesuai dengan kompetensi dasar minimal yang dituangkan dalam bentuk silabus dan skenario pembelajaran.

Paradigma lain yang perlu dikembangkan dalam KBK adalah life skill. Dengan life skill ini siswa tidak lagi diarahkan belajar untuk ilmu tetapi diharapkan siap menghadapi tantangan masa depan. Pembelajaran kontekstual pun perlu dikembangkan dengan mengubah paradigma ‘dongeng’ pengetahuan pada pemecahan masalah nyata serta mengubah paradigma kuantitas pemahaman pada kualitas pemahaman. Dalam bahasa Nurhadi dkk (2004), bahwa pembelajaran kontekstual dikembangkan untuk meningkatkan kinerja kelas. Kelas yang ‘hidup’ diharapkan menghasilkan output yang bermutu tinggi.

Pada tataran di atas, kehadiran pembelajaran kontekstual yang berusaha menutup kelemahan-kelemahan yang ada selama ini, juga perlu diikuti oleh prinsip penilaian yang baik. Yang terjadi selama ini, penilaian yang ada selalu dihadapkan pada dilema yang menekankan tes objektif pilihan ganda, alat evaluasi berbentuk paper dan pencil test yang berfokus pada pengukuran kognitif, kurang mempedulikan hasil belajar yang berbentuk kinerja (performance).

Kehadiran Ebtanas/UAN/Unas, menjadi hal yang telah mereduksi dan menghambat proses penerapan strategi mengajar yang dapat dikembangkan oleh guru, karena dipahami seolah-olah kehadirannya ini menjadi ‘satu-satunya’ penentu dalam kelulusan siswa. Oleh sebab itu, tak heran ketika Unas kembali digelindingkan—karena sudah tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003—tahun kemarin, banyak pihak yang memberikan respon negatif terhadap pola kebijakan ini.

Beberapa asumsi yang dikembangkan dapat dilihat dari berbagai penelitian bahwa ada sebuah penelitian yang dilakukan di Colorado (Alfie Kohn dalam Megawangi, 2005), dengan perlakuan beberapa guru kelas 4 SD diberikan tugas untuk mengajar materi yang telah ditentukan. Kelompok pertama adalah para guru yang diberitahukan bahwa setelah materi selesai diajarkan, para murid akan diuji dan harus dapat berhasil mencapai standar kelulusan.

Pada kelompok kedua, para guru diberikan tugas yang sama, namun tidak diberitahukan bahwa para murid akan diuji. Setelah selesai, semua murid diberikan tes, dan hasilnya ternyata murid-murid kelompok pertama mempunyai nilai yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kedua.

Penelitian serupa juga dilakukan di New York, dan ternyata hasilnya pun sama. Mengapa? Alfie Kohn mengulas bahwa ketika para guru merasa dituntut untuk meningkatkan hasil nilai ujian, mereka cenderung akan menekan para murid.

Guru akan memberikan tugas menghafal, mengerjakan soal-soal secara intensif (drilling), serta tambahan pelajaran, atau PR setumpuk tanpa mau memikirkan bagaimana memberikan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa. Kreativitas guru akan terhenti pada upaya pencapaian skor dan dengan serta merta akan menjadikan target skor sebagai sebuah tujuan utama—bukan lagi masalah siswa merasa senang atau tidak; siswa merasa dapat menerima dengan baik atau tidak. Proses belajar menjadi kaku, penuh beban, dan membosankan. Siapa saja yang belajar dengan penuh beban, apalagi anak-anak, hasilnya tidak optimal. Semakin guru dituntut untuk meningkatkan skor ujian, semakin rendah hasil yang dicapai oleh murid.

Dari realitas ini, dapat dipahami bahwa penilaian yang dilakukan tidaklah semata-mata perlu dalam bentuk kognitif saja, karena hal ini akan memberikan penilaian yang sepihak dan tidak bisa dijadikan alat ukur yang memadai. Memang, dengan adanya ujian nasional, misalnya, apalagi ujian tersebut akan menentukan tingkat kelulusan siswa dan peringkat sekolah, fungsi sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk membuat murid bergairah belajar agar menjadi para pembelajar sejati (lifelong learners), telah berubah menjadi tempat bimbingan belajar (Megawangi, 2005), karena murid hanya diajarkan untuk bisa menghafal buku teks, dan bisa menerapkan cara cepat dan tepat untuk menjawab soal tes yang biasanya berupa multiple-choice. Cara ini hanya melibatkan kemampuan berpikir manusia yang paling rendah (lower order thinking), sedangkan kemampuan higher order thinking seperti kemampuan mengolah dan menganalisis informasi, berpikir kreatif, pemecahan masalah, dan aplikasi teori, akan tidak berkembang. Jadilah mereka manusia robot yang hanya bisa berpikir sesuai dengan yang telah diprogram.

Untuk itu, berdasarkan penjelasan di atas, dalam memberikan penilaian, pola penilaian autentik menjadi salah satu alternatif sesuai dengan prinsip penilaian dalam pembelajaran kontekstual dan rambu-rambu KBK. Penilaian ini menjadi jawaban atas model penilaian tradisional yang sering dilakukan dalam paradigma lama dengan mengedepankan isi/materi, pemecahan masalah, pengetahuan proses (Shodiq, 2004).

Penilaian autentik ini merupakan terminologi yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif yang memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kecakapannya dalam menyelesaikan tugas-tugas dan menyelesaikan masalah, sekaligus mengekspresikan pengetahuan dan keterampilannya dengan cara menyimulasikan situasi yang dapat ditemui dalam dunia nyata di luar lingkungan sekolah (Hymes dalam Shodiq, 2004).

Ada beberapa model yang termasuk dalam penilaian autentik ini adalah sebagai berikut.

Pertama , Penilaian kinerja.

Penlaian ini dikembangkan untuk menguji kemampuan siswa dalam mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilannya (apa yang mereka ketahui dan apa yang dapa mereka lakukan) pada berbagai situasi dan konteks tertentu.

Kedua , observasi sistemik.

Strategi ini bermanfaat untuk menyajikan informasi tentang dampak aktivitas pembelajaran terhadap sikap siswa.

Ketiga , pertanyaan terbuka.

Sama halnya dengan observasi sistemik, pertanyaan terbuka memberikan stimulus kepada siswa yang menggugahnya untuk memberikan terhadap pertanyaan yang ada, baik dengan tulisan singkat, misalnya, atau jawaban lisan.

Keempat , portofolio.

Portofolio adalah kumpulan dari berbagai keterampilan, ide, minat, dan keberhasilan atau prestasi siswa selama jangka waktu tertentu. Koleksi tersebut memberikan gambaran perkembangan siswa setiap saat. Hal ini bisa berupa kumpulan laporan tugas dan penelitian siswa yang memberikan gambaran perkembangan siswa setiap waktu.

Kelima , penilaian pribadi.

Penilaian pribadi merupakan penilaian terhadap partisipasi keterlibatan dalam proses serta produk dari aktivitas siswa yang diamati dan diukur oleh diri siswa. Strategi ini memperkuat definisi baru penilaian yang salah satu prinsipnya adalah bahwa penilaian bukanlah sekadar ‘menghakimi’ siswa, tetapi ‘mengamati perkembangan’ siswa. Untuk itu, pemahaman terhadap perkembangan siswa bukanlah hanya hak guru tetapi juga hak siswa yang bersangkutan.

Keenam , jurnal.

Jurnal merupakan refleksi yang berisi pemikiran siswa tentang proses belajar dan hasilnya yang dapat dikembangkan dengan penulisan ide-ide siswa, minat, dan pengalamannya. Jurnal membantu siswa dalam mengorganisasikan pengalaman dan cara berpikirnya dengan menuangkannya secara eksplisit dalam bentuk gambar, tulisan, dan bentuk lainnya.

Ketujuh , tes.

Jika dikaitkan dengan fitur-fitur penilaian autentik yang lain, tes di sini hanya menyumbang sedikit sebagai alat pengungkap perkembangan belajar siswa. Melalui tes hanya hasil kognitif atau isi materi yang dapat dideskripsikan. Namun, tes ini masih diperlukan sebagai bagian dari penilaian autentik, meski tidak menjadi penentu utama seperti pelaksanaan Unas sekarang.

Untuk itu, dengan pemahaman tentang penilaian tes di atas, kiranya kita pun perlu mencermati ungkapan yang disampaikan Harvey Daniels (dalam Megawangi, 2005) tentang penelitiannya berkiatan dengan pelaksanaan penilaian pembelajaran. Ia mengemukakan hasil studinya bahwa ketika para guru dalam waktu 35 atau 38 minggu mengajarkan anak-anak dengan cara yang patut dan menyenangkan (dalam bingkai inovasi), dan memberikan waktu hanya 3 minggu sebelum ujian untuk persiapan drilling secara intensif, ternyata hasilnya sama saja dengan anak-anak yang dalam waktu 40 minggu belajar yang orientasinya hanya untuk bisa menjawab ujian. Namun anak-anak kelompok pertama belajar dengan sedikit tekanan, sehingga mereka lebih bersemangat untuk belajar.

Epilog

Berangkat dari paparan yang telah disampaikan di atas, dipahami bahwa dengan KBK, sebenarnya ada upaya menuju proses perubahan yang ingin dicapai secara komperhensif. Untuk itu, proses yang ada perlu didukung oleh keseriusan dan kesungguhan stakeholder sekolah, khususnya guru dan pengelola sekolah serta masyarakat untuk bersama-sama dengan sadar dan ikhlas melaksanakan perubahan/pembaharuan ini dengan tidak mengabaikan proses peningkatan kemampuan personal sebagai bagian yang takterpisahkan dari upaya pembaharuan ini, karena hal ini merupakan ‘jawaban pasti’ untuk sebuah kemajuan menuju masa depan yang telah ditawarkan dalam KBK.

Dengan demikian, ketika semua pihak yang berkompeten di dalam hal ini mau dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh untuk berubah dan memperbaharui diri, masa depan yang lebih baik dari anak didik kita akan menjadi niscaya. Jalan terang untuk menembus kemandegan pendidikan kita akan terbentang lebar. Kita berharap semua ini akan mendapat hidayah dari Allah SWT. Semoga!

 1 Tema: Adakah harapan menembus kemandegan pendidikan kita?

 

DAFTAR PUSTAKA

Asman, Yacob Suparsa. 2003. “Kecerdasan Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi” dalam Kompas.

Darmaningtiyas. 2005. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta: LKiS.

Dharma, Satria. 2005. “Kurikulum Berbasis Kompetensi” dalam Suara Kita.Com

Drost, J. 2005. Dari KBK sampai MBS. Jakarta: Kompas.

Megawangi, Ratna. 2005. “Paradoks Ujian Nasional” dalam Suara Pembaharuan Daily

Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nurhadi dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.

Prihandoko, Imam. 2003. “Selamat Datang Kurikulum Berbasis Kompetensi” dalam Kompas.

Shodiq, Syamsul. 2004. “Evaluasi Berbasis kelas untuk Pembelajaran Bahasa Indonesia: Penilaian Autentik”.

Shodiq, Syamsul. 2005. “Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi di Lingkungan Pesantren”.

Silbermen, Mel. 2000. Active Learning: 1001 Strategies to teach Any Subject. USA: Allyn and Bacon.

Suyatno, 2004. “Berakit-rakit dengan Guru, Berenang-renang Menggapai Harapan”.

Topatimasang, Roem. 2002. Sekolah Itu Candu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Insist.

BIODATA

Penulis adalah Guru SMAN 1 Sapeken, Sumenep. Alumni STKIP PGRI Sumenep ini pernah menjadi pemenang lomba keberhasilan mengajar guru 2002, 2003, dan 2004, lomba pembelajaran tepat guna tahun 2003 (semuanya tingkat kabupaten Sumenep). Ia juga tercatat sebagai pemenang lomba mengulas karya sastra (LMKS) tingkat nasional tahun 2003, 2004, dan 2005 di Jakarta. Selain menjadi guru, ia masih aktif menulis di berbagai media massa baik lokal maupun nasional dan juga masih aktif mengikuti kegiatan diskusi, seminar, dialog dan sejenisnya baik sebagai peserta maupun sebagai pembicara.

 

 

 Back To Daftar Isi

PESANTREN : Antara Ta’lim dan Dirasah

Oleh. Hodri Ariv, M.Ag

Salah satu sebab terjadinya sekularisasi adalah karena religi konvensional tidak lagi (secara sosiologis) operatif ,1 yang pada gilirannya mendorong para penganut agama mencari seperangkat ide atau gagasan lain yang dianggap operatif dan mampu memberi respon atau solusi alternatif yang relevan serta kompatibel dengan masalah yang mereka hadapi. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktunya, “agama” ternyata tidak mampu merespon perkembangan masalah sosio-kultural yang dihadapi para penganutnya, agama dirasakan hanya menjadi seperangkat ide dan gagasan eskatologis dogmatis yang tidak memiliki kaitan langsung dan koheren dengan permasalahan sosio-kultural di muka bumi.

Dengan realitas demikian, ketika para penganutnya dihadapkan pada permasalahan sosio-kultural kontemporer, ketika dunia menjelma menjadi kampung global dengan pemegang senjata dan kekayaan materi sebagai pemain utamanya, kebanyakan para penganut agama hanya bisa menjadi individu-individu yang pasif dan pasrah “menerima nasib” sebagai manusia yang tersisih dan menjadi penonton, atau marah dan reaktif dengan respon destruktif serta tidak rasional.

Beberapa respon destruktif yang terjadi belakangan ini, dalam kasus Indonesia, sebenarnya sangat menyakitkan (karena timbul penilaian bahwa pesantren juga melahirkan orang-orang yang tidak berperasaan dan tidak merasa bersalah dengan tindakan destruktif yang dilakukannya) atau – bahkan – memalukan bagi dunia pesantren (karena beberapa pelaku ternyata memiliki hubungan pribadi dengan dunia pesantren [alumni]), walaupun secara institusional pesantren – sejauh diberitakan – tidak terkait dengan aksi destruktif yang terjadi. Bila dicermati, respon reaktif dan marah ini juga merupakan indikasi lemahnya apreasiasi konstruktif-inklusif atas ajaran Islam, atau karena apreasiasi yang dilakukan cenderung harfiah dan tidak konstekstual yangb erusaha membawa solusi masa lalu untuk mengatasi masalah-masalah kontemporer dengan mengabaikan “semangat sejati”agama itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan dunia pesantren, tentu – seharusnya – bukan reaksi destruktif ini yang mengharuskan perlunya tinjauan kritis atas metodologi pendidikan pesantren, melainkan lebih karena keniscayaan historis agar dunia pesantren mampu memberikan potensi terbaiknya untuk umat Islam secara kontekstual, relevan, dan inklusif.

Dalam konteks inilah, tulisan ini ingin mendiskusikan pesantren sebagai institusi pendidikan yang berkewajiban melestarikan ajaran Islam (ta’lim) dan mengembangkan kajian atas ajaran Islam (dirasah), dengan paradigma bahwa aspek pertama (ta’lim) akan bisa dipelihara sebagai pedoman dan rujukan yang konstruktif, relevan, dan operatif hanya jika didukung dengan metode apresiasi atau kajian (dirosah) yang kontekstual dan rasional.

Dengan paradigma demikian, diharapkan bisa tercipta keseimbangan antara aspek ta’lim (doctrine) dan dirasah (studies) atas ajaran Islam ; dengan yang pertama membimbing umat agar tetap melangkah dalam koridor ajaran Islam (mubafazah), dan dengan yang kedua agar ajaran Islam tetap kontekstual dan relevan dengan perkembangan kontemporer dan mampu memberi solusi alternatif atas permasalahan yang dihadapi umat.

Untuk kepentingan ini, tulisan ini akan berusaha mendiskusikan dua point penting tentang pendidikan pesantren, yakni aspek epistimologi dan metode apresiasi atau interpretasi yang sebaiknya dikembangkan di pesantren, dalam konteks pembinaan akhlak di pesantren dan lingkungannya. Untuk itu, diskusi tentang akhlak menjadi subyek yang tidak mungkin diabaikan.

***

Penting ditekankan bahwa akhlak bukanlah sopan santun, seperti sikap menunduk, membungkuk, mencium tangan, atau apapun bentuknya, yang sangat mungkin memiliki ekspresi yang berbeda antar satu tempat dengan tempat yang lain. Akhlak adalah watak atau tabiat – yang bisa saja baik atau buruk – seseorang, yang kualitas-kualitasnya diakui bersama. Akhlak yang baik akan melahirkan sikap sopan santun sesuai dengan konteks sosial setempat yang beragam, tetapi tidak sebaliknya.

Dalam al-Qur’an, setidaknya ada dua kosa kata penting yang secara langsung terkait dengan akhlak ; pertama, kh-l-q yang darinya kata akhlaq berasal, dan kedua f-t-r yang menjadi sumber kata fitrah. Kata pertama, di samping memiliki makna mengawali atau memulai (penciptaan) sesuatu tanpa pernah ada presendennya,2 juga mengandung makna watak (al-sijiyyah), tabiat (al-tab); dan ketika dikaitkan dengan eksistensi manusia, ia bermakna sifat-sifat dan eksistensi batiniyahnya yang tercermin pada eksistensi lahiriyahnya.3 Sedangkan yang kedua, f-t-r, sekalipun juga memiliki makna memulai, ia lebih menunjuk pada aspek kognitif, pada pengetahuan dan pengakuan (ma’rifah) atas al-Khaliq.4Fitrah menekankan aspek karakter dasar manusia yang tidak memberi ruang bagi keburukan, sedangkan akhlak adalah watak dasar yang tidak terikat dengan kualifikasi nilai-nilai baik maupun buruk. Karena itu, dikenal adanya akhlah baik dan akhlak buruk, sedangkan fitrah senantiasa dikaitkan dengan kualitas-kualitas baik secara niscaya ada pada manusia secara primordial. Akhlak perlu diarahkan dan dibina, sedangkan fitrah perlu diketahui. Berakhlak dengan baik berarti bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan sifat dasar yang telah ditentukan secara primordial (fitrah); yakni, secara syar’i sesuai dengan tuntunan agama (al-Qur’an dan Hadist).

Dalam ungkapan lain bisa dikemukakan, akhlak adalah manefestasi simetris antara iman, islam, dan ihsan. Iman sebagai seperangkat kepercayaan dan keyakinan dalam beragama merupakan prinsip yang menjadi dasar dan rujukan seluruh sikap dan tindakan ; islam, yang dalam konteks ini menunjuk pada seperangkat hukum (syari’ah), adalah petunjuk dan bimbingan bersikap dan bertindak; dan ihsan adalah ketulusan, kesungguhan yang membuat sikap dan tindakan menjadi bernilai mulia, karena dilakukan berdasarkan keyakinan dan petunjuk yang dianut. Dengan konsep demikian, berarti dibutuhkan pengetahuan yang memadai untuk mengetahui petunjuk dan bimbingan agama.

***

Tentu bukan sebuah kebetulan pula ternyata, secara filosofis, akhlak (ethics) memiliki kaitan erat dengan epistimologi.5 Hal ini karena – seperti dikemukakan- akhlak tidak secara niscaya merupakan kualitas baik pada diri manusia. Karena itu, manusia membutuhkan pengetahuan yang memadai agar sikap, tingkah laku, dan wataknya sesuai dengan bimbingan agama. Dalam hal ini manusia membutuhkan, atau perlu menggunakan, beberapa alat epistimologis seperti pemahaman, kajian, analisis, dan sebagainya untuk menentukan pilihan pedoman sikap dan tingkah laku, atau untuk membuktikan bahwa pilihan sikap dan tingkah lakunya telah sesuai dan benar-benar secara teologis (menurut kaidah-kaidah agama). Lebih-lebih itu, dengan epistimologi pula kesesuaian sebuah pemahaman atau apresiasi dan interpretasi atas teks-teks keagamaan yang kemudian menjadi rujukan dan pedoman sikap dan perilaku bisa diketahui. Tanpa menggunakan alat-alat epistimologi secara benar dan jujur, bukan tidak mungkin akan muncul klaim-klaim kebenaran sepihak dengan mengatasnamakan agama, sekalipun – mungkin – pada kenyataannya menyimpang atau bahkan berlawanan dengan pesan sejati agama.

Pengetahuan manusia, termasuk dalam bidang agama, adalah tunduk pada teoriladen ; pengetahuan, apreasiasi, atau interpretasi atas suatu peristiwa, teks atau teks-teks apapun, termasuk dalam bidang keagamaan, senantiasa dipengaruhi oleh akumulasi informasi, konteks sosial dan kultural, serta kecenderungan-kecenderungan yang ada pada diri seorang penafsir. Hal ini kemudian menyebabkan tafsir agama menjadi tidak murni dan tidak bisa memiliki kebenaran mutlak seperti kualifikasi yang ada pada teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan al-Hadist). Jika teks-teks keagamaan bersifat Ilahi, transenden, dan mutlak, maka tafsir atasnya – sebagai hasil usaha manusia – senantiasa bersifat manusiawi, historis, dan relatif. Tafsir agama, secara niscaya, harus senantiasa bersifat terbuka terhadap kritik maupun otokritik dengan tetap menjadikan teks-teks sumber sebagai rujukan bersama dan dengan menggunakan metodologi yang rasional (penalaran yang rasional dan logis).

Tafsir teks ini, sepanjang sejarahnya, telah mengalami kontraksi (qabd) dan ekspansi (bast) dengan teks sebagai porosnya ; dari yang paling harfiah, dogmatis, dan kaku hingga yang paling rasional, kontekstual, dan liberal ; dan antara kedua eketrem tersebut terdapat beragam pola penafsiran yang begitu banyak. Semua ini, betapapun berbeda atau mungkin berlawanan (pada tingkat konklusi yang dihasilkannya), harus tetap disikapi secara dewasa sebagai usaha menafsirkan pesan agama, dan tetap terbuka pada kritik dan peninjauan kembali. Semua merupakan usaha manusia (human endeavors) untuk memahami maksud pesan teks sedekat mungkin dengan pesan yang dimaksudkan, dan tidak bisa dikatakan bahwa itulah maksud teks yang sebenarnya.

Dengan paradigma demikian, khazanah kesarjanaan muslim dalam bidang hukum (fiqh), teologi (kalam), filsafat maupun (aspek-aspek diskursif) tasauf, dan lain-lain yang seama ini dipelajari, dikaji, dan dijadikan rujukan adalah hasil usaha manusia yang senantiasa bersifat relatif dan terbuka.Pada masanya, masing-masing telah menunjukkan kompatibelitas, relevansi dan fungsi operatif yang luar biasa dan mampu memberi solusi-solusi alternatif pada berbagai permasalahan umat. Tetapi, pada saat sekarang, ketika realitas sosio-kultural telah begitu banyak mengalami perubahan, ketika tuntutan dan permasalahan semakin banyak dan beragam, ada beberapa diantara khazanah kesarjanaan muslim tersebut yang perlu ditinjau kembali, di samping memang ada beberapa masalah yang tidak ditemukan jawabannya dalam tradisi intelektual muslim karena memang baru muncul belakangan.

Dengan pandangan demikian, aspek terpenting pemeliharaan dan pelestarian (muhafazah) tradisi intelektual ulama salaf adalah pada metode-metode interpretasi (manahij al-tafsir) mereka, dan bukan semata pada konklusi-konklusi yang telah mereka hasilkan. Namun, dalam inipun, metodologi harus tetap terbuka dan inklusif, sebagaimana pengetahuan manusia sebenarnya bersifat komulatif dan tidak bisa dibatasi oleh satu disiplin, aliran, atau apapun (al-Kindi, w. + 260/873). Maka, pengetahuan agamapun sangat dipengaruhi oleh akumulasi informasi dari berbagai sumber, bahkan dari tradisi keagamaan yang berbeda, baik pengaruh itu berlangsung secara positif maupun negatif. Secara prinsip, ada bagian-bagian yang senantiasa bersifat tetap dan abadi (continuity one) dan ada bagian-bagian yang – karena perubahan atau perbedaan konteks – memang harus mengalami perubahan (change).

Dalam kaitan ini, penting dikemukakan bahwa secara teologis tidak ada satu tafsirpun yang bersifat murni dan sempurna serta memiliki kebenaran mutlak, karena itu akan berarti “memadani” kebenaran dan kesempurnaan mutlak Tuhan al-Haq (Sang Mahabenar), yang tidak bisa diterima secara teologis. Setiap tafsir atau pengetahuan apapun tidak pernah abadi dan selalu menyediakan ruang untuk berbeda dan berubah serta terbuka pada kritik maupun otokritik. Klaim kebenaran mutlak adalah Hak Allah SWT semata. Masalahnya kemudian, bagaimana teks-teks agama dan khazanah intelektual muslim diapresiasi dalam relevansinya dengan pembinaan akhlak.

***

Dalam konteks pembinaan akhlak mulia, selama ini terasa ada sesuatu yang hilang dalam komponen pendidikan di pesantren. Teks-teks khazanah intelektual muslim, seperti tauhid (kalam), fiqh (syariah), akhlaq (tasawuf), dan lain-lain, lazim cenderung disajikan apa adanya, dengan pembacaan yang tepat, permaknaan kata demi kata, serta penjelasan maksud teks-teks klasik (murad) yang perlu diketahui, dan contoh-contoh seperlunya ketika dibutuhkan. Cara demikian, tentu, bukanlah sesuatu yang buruk, apalagi salah, tetapi tidak bisa dikatakan memadai untuk tujuan pembinaan akhlak yang mulia (beragama, berislam).

Pembacaan deskriptif demikian hanyalah bersifat informatif saja yang kurang atau bahkan tidak bisa memprovokasi para santri (audiences) untuk turut serta terlibat mencari makna yang dimaksudkan oleh sebuah teks. Karena melibatkan peserta belajar, secara strategis, merupakan salah satu cara untuk membuat yakin dan –pada gilirannya- mau melakukan.

Bagian yang hilang, dalam hal ini, pertama, adalah suasana dialogis yang seluas-luasnya. Bahkan, dalam kesempatan dialog pun terkadang ada intimidasi sosio-religius dengan menekan santri untuk amat sangat berhati-hati dalam bertanya, karena kesalahan sedikit saja –khususnya dalam masalah kalam- bisa menyebabkan syirik (dosa yang tidak terampuni), atau dinilai berakhlak buruk karena “tidak menghormati” guru. Secara tak langsung santri “dipaksa” untuk hanya menerima apa yang disampaikan dengan kesempatan mengkritisi yang nyaris tidak ada, baik terhadap penjelasan guru maupun (atau, apalagi) terhadap pesan teks karya para ulama salaf. Dalam hal demikian, guru tidak mungkin disalahkan dengan sikapnya yang –dengan ungkapan vulgar- intimidatif secara keagamaan; hal demikian dilakukan karena guru bersikap ekstra hati-hati agar para santri tidak terjebak dengan sikap kritis yang tidak metodologis. Tapi sayangnya, sebagaimana lazim, terlalu hati-hati merupakan hambatan utama sikap kritis dan kreatif. Keberanian untuk berfikir kritis harus dimulai sebelum para santri betul-betul menghadapi masalah yang sebenarnya di masyarakat. Penundaan hanya berarti menumpuk masalah tak terpecahkan, dan masih cukup beruntung jika masalah itu ditangguhkan (tawaqquf) karena tak terpecahkan; tetap lebih buruk jika masalah itu diatasi secara membabi buta dan destruktif, atau beralih pada rujukan keyakinan lain di luar tuntunan Islam.

Tentu, untuk berfikir kritis santri harus diperkenalkan dengan metode interpretasi yang sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan bahasa yang sederhana, guru sebaiknya merangsang santri untuk mulai turut berfikir kritis dengan pola-pola penalaran –seperti- komparasi (qiyas), silogisme (mantiq), hermeneutika (mencoba mendiskusikan sebuah teks dengan mempertimbangkan suasana ketika teks tersebut diwahyukan/ diucapkan atau ditulis [text], kondisi tempat teks diwahyukan/ diucapkan atau ditulis [context], dan kecenderungan-kecenderungan yang terkandung dalam teks tersebut [clue], dan lain-lain.

Langkah-langkah ini mungkin terkesan agak “berat” dan mungkin “rumit” bagi peserta belajar (dengan asumsi tingkat Aliyah), tapi karena tujuan yang ingin dicapai belum pada tingkat agar mereka mampu melakukan interpretasi atau kritik teks, melainkan agar tumbuh rasa ingin tahu dan sikap kritis yang kuat secara metodologis, langkah ini penting untuk dimulai. Dengan pola seperti ini santri diharapkan akan berusaha mencari dan menemukan titik temu antara pesan teks atau makna murad dengan realitas yang mereka hadapi, sehingga –andaipun menghadapi masalah yang sebenarnya- mereka tidak mengalami keterkejutan intelektual maupun -terutama- teologis.

Di samping kesempatan-kesempatan tersebut, hal paling signifikan yang nyaris hilang dalam pendidikan di pesantren adalah pengembangan wawasan sosiologis untuk menjelaskan hikmah-hikmah sosial ajaran Islam. Apresiasi sosiologis hendaknya lebih merujuk langsung pada pesan sejati Islam dengan menggunakan hasil pemikiran para ulama salaf sebagai pengantar, tentu dengan tetap membandingkan –secara sederhana- konteks sosial antara masa risalah, masa interpretasi, dan kontemporer. Dengan pola demikian diharapkan agar kesenjangan yang ada antara teks dan konteks bisa dijembatani, sehingga santri (atau siapa pun) merasakan adanya manfaat langsung dari mengikuti dan melaksanakan ajaran agama tersebut, jadi bukan semata karena diperintahkan agama.

Tawaran alternatif apresiasi atau pun interpretasi –khususnya- dengan pendekatan sosiologis ini tidak kemudian berarti bahwa pendekatan normatif dan dogmatif tidak penting. Hanya saja, pendekatan yang terakhir ini lazimnya “hanya” memiliki pengaruh yang mendalam pada para penganut agama yang sudah tidak lagi “disibukkan” dengan masalah-masalah duniawi, atau –menggunakan kriteria eskatologis- bagi orang-orang yang telah bersih hatinya, yang telah “selesai” dengan kepentingan-kepentingan duniawi. Sedangkan bagi kalangan awam (common people), pendekatan sosiologis bisa menjadi alternatif yang lebih mampu mempertemukan pesan transenden dengan realitas duniawi mereka.

Mengutip beberapa contoh, dalam buku terbarunya Tariq Ali, The Clash of Fundamentalism: Jihads and Modernity (2003), membandingkan signifikansi shalat berjamaah dengan pertemuan sel-sel komunis yang menurutnya sangat sering dilakukan; bahwa ternyata, dengan frekuensi pertemuan yang sangat sering mampu menguatkan semangat kebersamaan dan rasa persaudaraan. Sedangkan Farid Essack, dalam On Being A Muslim (2001), mencontohkan puasa sebagai saat berlabuh di dermaga bagi kapal-kapal yang telah berlayar selama setahun suntuk; menurutnya, selama pelayaran, ombak dan badai duniawi telah menyebabkan beberapa bagian kapal kemanusiaan rusak dan perlu diperbaiki – selain itu, dermaga adalah kampung halaman kemanusiaan yang -disadari atau tidak- senantiasa dirindukan. Dalam kaitan ini, Abdul Karim Soroush, dalam bukunya Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush (2000), mengingatkan bahwa kegagalan mengartikulasikan ajaran Islam secara konstektual hanya akan menyebabkan para penganutnya –pada gilirannya- mengalami keterasingan dengan ajaran agamanya yang tidak relevan. Prinsip yang sangat penting di sini adalah, ajaran Islam perlu diapresiasi secara sosiologis dan kontekstual agar santri (dan siapa pun) merasakan dan yakin bahwa itu memang bermanfaat dan mereka butuhkan. Tanpa merasakan adanya manfaat, sulit mengharapkan adanya kebutuhan.

 

1 Peter E. Glasner, Sosiologi Sekularisme Suatu Kritik Konsep (Yogjakarta, Tiara Wacana, 1992), hlm. 39

2 Dalam teks aslinya dikemukakan………………………………………………………….(lihat dalam Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, volume 10 (Beirut, Dar el-Fikr, tt), hlm. 85

3 Ibnu Manzur, volume 5, hlm. 55

4 Ibid, hlm. 55

5 Epistimology or theory oh knowledge, is that branch of philosophy wich is concerned with the nature and scope of knowledge, is presupposition and basis, and general reliability of claim to knowledge (lihat dalam D. W Hamlyn, “ History of Epistimology” dalam Paul Edwards (ed. In chief), The Encyclopedia of Philosophy vol. 3 (New York : Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, 1996) hlm. 3. Namun dalam kertas kerja ini epistimologi hanya digunakan dalam pengertian yang sangat terbatas, yakni yang menyangkut aspek interpretasi teks-teks keagamaan saja.

 

 

 Back To Daftar Isi

Model Pembelajaran Problem Solving dan Prestasi Belajar IPA Siswa

Oleh. Zainal Hasan

A. Latar Belakang

Salah satu faktor penyebab merosotnya kualitas manusia Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan. Hal ini dapat diartikan sebagai kurang efektifnya proses pembelajaran yang dikembangkan. Penyebabnya dapat berasal dari siswa sendiri,guru maupun sarana dan prasarana, kurukulum yang diberlakukan dan lingkungan (latar). Minat dan motivasi siswa yang rendah, kurikulum yang kurang relevan terhadap situasi dan kondisi kemudian keterbatasan penggunaan lingkungan (latar) akan menyebabkan proses pembelajaran kurang efisien.

Menggaris bawahi relevansi kurikulum terhadap situasi dan kondisi di suatu daerah, efektifitas kurikulum merupakan parameter terhadap peningkatan/penurunan kualitas prestasi belajar siswa yang akan dicapai. Kurikulum adalah sebuah program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan pada jenjang pendidikan tertentu (Depdikbud, 1977). Tujuan pendidikan tersebut dapat mengalami pengembangan dan perubahan, akibat adanya dinamika sosial antara lain adanya kecenderungan masyarakat untuk berkembang pada saat ini dan masa yang akan datang. Kurikulum mata pelajaran IPA yang berlaku di tingkat dasar maupun menengah adalah kurikulum 1994 yang disempurnakan. Kurikulum ini telah berjalan lebih dari sepuluh tahun. Dalam kurun waktu tersebut pasti terjadi berbagai macam perubahan sosial secara nasional maupun global. Perubahan-perubahan tersebut menuntut adanya pengembangan kepribadian, kompetensi dan keterampilan hidup (life skill) sumber daya manusia Indonesia, untuk menyongsong kehidupan dunia masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, harus diimbangi dengan inovasi dan perubahan pada dunia pendidikan, diantaranya adalah sistem pembelajaran pada semua jenis mata pelajaran khususnya mata pelajaran IPA yang lebih sesuai dan tepat guna. IPA adalah kepanjangan dari Ilmu Pengetahuan Alam yang pada dasarnya sangat menunjang perkembangan sains dan teknologi. Untuk memahami dan menguasai mata pelajaran IPA, sesungguhnya tidak terlalu sulit bahkan ada yang menyatakan bahwa IPA khususnya fisika itu mudah (Yohanes S, 2000). Pada pembelajaran IPA materinya sangat luas, kompetensi guru sangat berpengaruh terhadap keberhasilan prestasi belajar IPA siswa (Depdikbud, 1994). Metode eksprimen dan observasi untuk memahami gelaja alam dan lain sebagainyamerupakan salah satu diantara metode yang harus digunakan dalam pembelajaran IPA. Konsep IPA terutama fisika pada umumnya merupakan konsep berjenjang dari konsep sederhana ke konsep yang lebih kompleks. Fisika yang merupakan bagian ilmu pengetahuan alam, pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, perkembangannya banyak mengalami berbagai kendala dan masalah, diantaranya menyangkut penerapan proses belajar mengajar dan hasil belajar itu sendiri. Selama ini terdapat anggapan dan kesan dari siswa bahwa mata pelajaran IPA (Fisika) itu sulit dan rumit, sehingga banyak siswa yang enggan mempelajarinya. Hal ini akan berdampak pada penurunan prestasi belajar dan mutu pendidikan secara menyeluruh.

Pembaharuan sistem kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004 yang lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan khususnya prestasi belajar pada siswa. SMA 1 Sumenep merupakan sekolah yang dianggap favorit oleh masyarakat sekitar, kemudian menurut data yang ada, keadaan murid sekolag ini memiliki tingkat IQ di atas rata-rata. Namun, kenyataannya prestasi belajar mata pelajaran fisika siswa masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor kompetensi guru yang kurang relevan di dalam melaksanakan model dan metode pembelajaran.

Dalam upaya peningkatan hasil pembelajaran IPA yang maksimal, para praktisi pendidikan IPA telah banyak memperkenalkan berbagai metode dan pendekatan mengajar yang diramu dalam suatu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran IPA. Dari beberapa model pembelajaran dapat dilihat bahwa pemilihan dan penerapan strategi pembelajaran yang digunakan mengalami pergeseran dari yang mengutamakan pemberian informasi (pemberian konsep IPA) menuju ke strategi yang mengutamakan keterampilan berfikir untuk memperoleh dan menggunakan konsep IPA. Pergeseran pemilihan strategi pembelajaran, secara otomatis peran guru di kelas akan menjadi berubah, yaitu peran sebagai penyampai materi pelajaran (transformator) menjadi peran sebagai fasilitator atau dari teacher centered menjadi student centered. Pergeseran peran guru terhadap siswa dalam proses pembelajaran, semuanya tidak lepas dari tanggung jawab guru yang harus memperhatikan aspek pendidikan diantaranya adalah meningkatkan perkembangan kepribadian siswa secara menyeluruh.

B. Paradigma Pembelajaran IPA

Semua aktivitas di dalam kehidupan ini tidak akan terlepas dari konsep ilmu pengetahuan alam. Hal ini perlu digarisbawahi bahwa ilmu pengetahuan tentang alam harus diketahui sejak lahir hingga dikandung badan. Contoh : tetkala kita sedang tidur hingga bangun tidur, kemudian melakukan semua bentuk aktivitas kegiatan lebih-lebih berhadapan dengan fenomena alam, maka kita selalu dihadapkan pada berbagai konsep-konsep ilmu pengetahuan alam.

Oleh karena itu, seseorang yang masih menginginkan indahnya kehidupan, maka mengetahui dan memahami konsep IPA merupakan tersebut suatu tuntutan. Untuk memenuhi hasrat menuju indahnya dunia kehidupan tersebut, oleh sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan, maka dikembangkan suatu program pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dalam bentuk kurikulum. Perlu diketahui bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan hasil rekayasa manusia yang berupa pengetahuan, gagasan dan konsep yang terorganisir, yaitu tentang fenomena atau gejala alam. Akibat perkembangan sains adan teknologi yang sangat pesat, IPA diklasifikan menjadi beberapa cabang disiplin ilmu antara lain : ilmu fisika “. Tak kenal maka tak cinta” demikian bunyi salah satu ungkapan pribahasa. Itulah sebabnya kita perlu mengenal terlebih dahulu apakah ilmu fisika itu ? Tuhan YME melengkapi alam semesta ciptaan-Nya ini dengan berbagai hukum yang teratur dan rapi sebagai tanda keagungan dan kebesaran-Nya. Hukum-hukum Tuhan berlaku bagi seluruh isi jagad raya ini sering kita sebut sebagai hukum alam (law of nature). Hukum-hukum alam tersebut bersifat pasti (exact) dan tidak pernah berubah (imnutable) sehingga dapat dipelajari dan dimanfaatkan oleh manusia. Usaha manusia untuk menalari dan meneliti hukum-hukum alam tersebut melahirkan ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dengan berbagai cabang-cabangnya, seperti fisika, kimia, biologi, geneologi, astronomi, ekologi dan lain sebagainya. Ilmu alam atau fisika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari bagian-bagian alam dan interaksi di dalamnya dalam hal ini mempelajari tentang materi, gelombang dan energi, sifat-sifat serta gejala-gejala yang dapat ditimbulkannya. Sebagai ilmu pengetahuan, fisika merupakan ilmu yang mendasari ilmu pengetahuan alam lainnya. Oleh karena itu, untuk mempelajari IPA, konsep fisis perlu diperhatikan dan harus ditanamkan terlebih dahulu terhadap siswa. Dalam perkembangannya ilmu fisika secara umum dibagi menjadi dua bagian, yaitu : fisika klasik dan fisika modern. Fisika klasik yang berkembang sebelum 1900 terdiri dari tiga bidang, yaitu :

- Mekanika klasik (mengenai gerak benda pada kecepatan normal jauh lebih kecil dari kecepatan cahaya (3x108 m/s)

- Termodinamika : mengenai perpindahan panas, suhu dan kelakuan dari partikel dalm jumlah yang sangat besar

- Elektrodinamika : mengenai fenomena listrik dan magnet, optik dan radiasi

Dengan fisika klasik ini kita bisa menerangkan banyak fenomena alam yang kita lihat dan kita rasakan. Misalnya, tentang terjadinya angin, panas, rambatan bunyi, pelangi dan lain sebagainya. Fisika modern yang berkembang pada abad ke-20 mengembangkan teori yang berhubungan dengan fenomena-fenomena yang tidak bisa diterangkan oleh fisika klasik. Dua buah teori fisika modern yang sangat penting adalah teori Relativistik Einstein dan teori Mekanika Kwantum. Teori Relativistik disamping dapat menerangkan gerakan benda yang cepat sekali juga mampu menjelaskan hubungan antara energi dan massa benda. Sedangkan teori kwantum dapat melukiskan fenomena-fenomena fisika pada level skala yang sangat kecil seperti atom dan partikel pembangun atom, yaitu : partikel elementer. Pada abad ke-20 fisika telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sekali. Dampak perkembangan fisika telah dapat kita rasakan, yaitu berupa perkembangan teknologi mutakhir. Contoh, teknologi laser, semiokonduktor, superkonduktor, nuklir dan sebagainya.

Perkembangan teknologi ini membuat adanya revolusi besar dalam sejarah kehidupan manusia, lebih dari itu fisika juga telah banyak menguak tabir-tabir misteri di jagad raya ini. Misalnya dahulu orang menganggap bahwa panas adalah suatu misteri, mereka tidak tahu penyebab timbulnya panas, tetapi setelah teori atom ditemukan, orang baru mengerti bahwa panas disebabkan karena akibat gerakan dan tumbukan antar atom-atom. Selanjutnya teori tentang atom ini berhasil menyatukan dua konsep fisika yang berbeda, yaitu konsep panas dengan konsep gerak (mekanika). Suatu hal yang sama terjadi juga pada listrik dan magnet. Dahulu orang tidak mengerti apa hubungan antara medan magnet dengan medan listrik, tetapi setelah ditemukan teori elektromagnetik oleh Maxwell dkk, orang baru mengerti bahwa kedua medan itu pada hakikatnya adalah satu. Medan listrik bisa ditimbulkan oleh medan magnet dan demikian juga sebaliknya. Penemuan teori ini mampu membuka tabir penyebab keberadaan cahaya dan gelombang sinar (gelombang sinar X, gelombang radio dan lain sebagainya) yang sangat bermanfaat dalam teknologi modern. Jika konsep panas dan gerak dapat disatukan, listrik, magnet dan cahaya juga dapat disatukan, mungkinkah seluruh gejala di alam ini dapat diterangkan dengan satu teori saja. Pertanyaan ini sangat mengusik para fisikawan. Pada 1978, Steven Weinberg menciptakan sebuah teori yang menggabungkan teori elektromagnetik dan teori interaksi lemah sering disebut (weak interaction) yang mempunyai hunungan erat dengan peristiwa radioaktifitas. Teori gabungan ini dinamakan dengan teori listrik arus lemah (electroweak). Sukses dalam teori “electroweak” para fisikawan semakin bernafsu untuk menggabungkan teori electroweak dengan teori interaksi kuat (strong interaction), yaitu teori yang melukiskan interaksi diantara inti atom (neutron dan proton) dan disebut teori “ Grand Unified Theory”. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya para fisikawan sampai saat ini masih berusaha dan berharap bahwa suatu saat nanti teori Grand Unified Theory dapat digabungkan dengan teori gravitasi. Jika usaha dan harapan tersebut menjadi suatu kenyataan, maka teori baru tersebut harus diberi nama, yaitu Theory of Everything. Teori gabungan inilah yang diharapkan dapat membantu kita lebih banyak memahami misteri di alam semesta yang terhampar luas tanpa batas.

Ilmu Kimia : yaitu ilmu tentang sifat-sifat khusus suatu zat, perubahan-perubahan zat bagian-bagian yang membangun zat itu dan cara bagian-bagian itu tersusun

Ilmu Biologi : yaitu yang mempelajari tentang makhluk hidup. Dengan menggunakan fisika dan kimia, ilmu biologi berkembang lebih pesat sehingga muncul disiplin ilmu Bio-fisika dan Bio-kimia. Ilmu pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA) : yaitu ilmu yang mempelajari tentang bumi dan antariksa, gejala-gejala serta sebab apa yang terjadi pada bumi dan antariksa. Kurikulum mata pelajaran IPA di Sekolah Menengah Umu (SMU) merupakan suatu program untuk menanamkan dan mengembangkan keterampilan sikap dan nilai ilmiah pada siswa sehingga tujuan akhirnya adalah menghayati mencintai, menghargai terhadap lingkungan bahkan percaya dan kagum terhadap sang pencipta alam sehingga bertakwa merupakan pilihannya.

Program pengajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) juga dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan perguruan tinggi, dalam hal ini pengaaman telah menunjukkan bahwa selama ini masih sedikit sekali dari jumlah tamatan SMU yang memenuhi standar akademik sebagai prasyarat dasar untuk menggali ilmu pengetahuan alam di tingkat pendidikan perguruan tinggi. Sebagai faktor penyebab secara umum adalah penguasaan materi mata pelajaran yang relatif rendah terutama pelajaran Matematika dan IPA.

Di samping itu, program pengajaran IPA diharapkan dapat memberikan pendidikan ke arah yang lebih profesional. Contohnya adalah pendidikan keterampilan hidup (life skill education) kepada siswa baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga bagi siswa yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dapat digunakan untuk bekerja di tengah-tengah masyarakat. Dengan bekal pengetahuan dasar yang telah diperoleh, maka pola berfikirnya diharapkan mampu bernalar, berkreasi untuk menggunakan metode ilmiah dalam mengembangkan dan menerapkan konsep IPA, sehingga proses inovasi ke segala bidang membawa perubahan ke arah terciptanya kesejahteraan hidup dan mewarnai keadaan zaman.

C. Pembelajaran dan Model Pembelajaran IPA

Pembelajaran merupakan usaha manusia yang dilakukan dengan tujuan untukmemfasilitasi belajar orang lain. Gane dan Briggs (1979) secara khusus mendefinisikan bahwa pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh guru, instruktur, pembelajar dengan tujuan untuk membantu siswa agar ia dapat belajar dengan mudah. Maka, pembelajaran dilakukan dengan menggunakan berbagai materi ajar, metodologi pembelajaran, penggunaan media belajar, pemanfaatan situasi lingkungan belajar (latar) dan evaluasi pembelajaran. Banyak orang menganggap bahwa fisika merupakan suatu momok yang menakutkan. Fisika teah terstigma sebagai suatu pembelajaran yang sangat sukar dan harus dihindari. Padahal sesungguhnya fisika merupakan suatu ilmu yang sangat menarik. Banyak yang terjadi di alam ini dapat dijelaskan melalui konsep-konsep fisika. Fisika bukanlah momoh yang menakutkan, tetapi merupakan kawan bermain yang menyenangkan, jika kita dapat memahami konsep-konsepnya dengan sangat baik. Pelajaran fisika mengandung sejumlah teori yang telah teruji kebenarannya dengan berbagai eksprimen dan akan terus berkembang. Untuk memahami fisika kita harus memahami dasar-dasar eksprimen yang melandasi azas-azas teorinya. Pelajaran fisika terdiri dari pelajaran di kelas (membahas tentang teori/konsep fisika dan lainnya) dan pelajaran di laboratorium diharapkan dapat mengembangkan sikap-sikap metode ilmiah. Fisika merupakan sutau pengetahuan eksprimental. Oleh karena itu, pekerjaan praktis haruslah memperoleh peranan penting di dalam pengajaran fisika di semua tingkat pendidikan dengan asumsi sebagai berikut :

- Pengajaran IPA jangan hanya menyajikan fakta-fakta yang perlu dihafal saja, murid perlu dibiasakan berfikir dan mengamati sendiri beberapa peristiwa alam.

- Dengan jalan memberikan tugas-tugas eksprimen, diharapkan murid dapat menghayati kegairahan dalam mempelajari IPA, karena mereka seakan akan merasa menemukan hukum/konsep yang menguasai alam semesta ini.

- Pemahaman pada konsep dasar yang menerangkan segala peristiwa alam mutlak harus dikuasai karena hal ini akan menjadi dasar dalam rangka memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk memahami konsep dasar IPA dalam pembelajaran, maka perlu strategi pembelajaran yang diramu dalam suatu bentuk/model pembelajaran IPA. Model pembelajaran adalah langkah-langkah dalam proses pembelajaran dengan memperhatikan karakteristik siswa, materi pelajran, interaksi antar guru, siswa, alat/media, evaluasi, dan faktor pendukung lainnya (Sa’dun Akbar, 2003).

Ada beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan dalam konteks Ilmu , Pengetahuan Alam, diantaranya : pertama, model pembelajaran pengolahan informasi. Model ini bertitik tolak dari prinsip-prinsip pengolahan informasi, yaitu yang merujuk pada cara-cara bagaimana bagaimana manusia menangani rangsangan dari lingkungan, mengorganisasi data, mengenali masalah, menyusun konsep, memecahkan masalah dan menggunakan simbol-simbol. Jenis model pembelajaran seperti ini menekankan pada kemampuan memecahkan masalah sehingga siswa harus berfikir secara produktif. Contoh model pembelajaran jenis ini adalah berfikir induktif, latihan inkuari, pembentukan konsep dan lain sebagainya. Kedua, model pembelajaran personal (pribadi/individu). Model pembelajaran yang termasuk rumpun ini menekankan pada pengembangan pribadi, yaitu menekankan proses dalam membangun/mengkontruksi dan mengorganisasi realitas, yang memandang manusia sebagai pembuat makna. Fokus pembelajaran ditekankan untuk membantu individu dalam mengembangkan hubungan produktif dengan lingkungannya serta untuk melihat dirinya sendiri. Contoh dari jenis ini pembelajaran ini adalah pengajaran non direktif, latihan kesadaran, sinektik, sistem konseptual, pertemuan kelas dan lain sebagainya. Ketiga, model pembelajaran interaksi sosial. Model pembelajaran ini menekankan hubungan individu dengan masyarakat atau atau orang lain. Pembelajaran difokuskan pada proses dimana realitas adalah negosiasi sosial. Model pembelajaran interaksi sosial ini memberikan prioritas lain untuk meningkatkan proses demokratis dan belajar dalam masyarakat secara produktif. Contoh dari model pembelajaran jenis ini adalah kerja kelompo (investigation group), inkuari, jurisprudential. Bermain peran (rol playing), simulasi sosial. Keempat, model pembelajaran perilaku. Model pembelajaran rumpun ini didasarkan pada suatu pengetahuan yang mengacu pada teori perilaku, seperti teori belajar, modifikasi perilaku atau perilaku terapi. Model pembelajaran jenis ini mementingkan penciptaan lingkungan belajar yang memungkinkan manipulasi penguatan perilaku secara efektif sehingga terbentuk pola perilaku yang dikehendaki. Contoh model ini adalah contigency management (menejemen dari akibat/hasil perlakukan), self control, relaksasi, stress reduction (pengurangan stress), direct training dan lain sebagainya. (dikutip dari Bruce Joice dan Marsha Weil, 1980, Models of Teaching Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall, Inc).

Dari pelaksanaan model pembelajaran problem solving bidang studi IPA yang dilakukan oleh setiap guru IPA SMA 1 Sumenep diperoleh hasil temuan yang cukup representatif, diantaranya : masalah yang berkaitan dengan implimentasi KBK terhadap model pembelajaran, penggunaan model pembelajaran problem solving pada kurikulum 2004 di SMA 1 Sumenep. Kompetensi guru dalam hal menjabarkan isi kurikulum, membuat program dan pelaksanaan program serta evaluasinya. Penggunaan pendekatan dan metode pembelajaran beberapa temuan tersebut masih terganjal oleh terbatasnya waktu dan dana yang tersedia, sarana prasarana pembelajaran di sekolah dan pemanfaatan potensi latar yang kurang maksimal, kemudian masalah yang berkaitan dengan hasil pembelajaran secara umum hasil pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran problem solving lebih baik, efektif dan efisien, jika dibandingkan dengan model pembelajaran klasikal. Yaitu peran guru sangat dominan (teacher centered). Hal ini dapat dilihat dari tabel hasil rata-rata prestasi belajar IPA siswa kelas X di SMA 1 Sumenep, sebagai berikut :

 

Model Pembelajaran Klasikal

Model Pembelajaran Problem

Solving

Hasil belajar rata-rata kelas

Hasil belajar rata-rata kelas

1. Nilal tugas + harian

52

1. Nilai tu s + harian

68

2. Cara menjawab pertanygan di

kelas

65

2. Cara menjawab pertanyaan

di kelas

72

3. Cara menyusun laporan

64

3. Cara menyusun laporan

70

4. Ketelitian

68

4. Ketelitian

72

5. Ketekunan, keuletan

65

5. Ketekunan, keuletan

70

6. Usaha

60

6. Usaha

80

Sebagaimana diketahui, bahwa perkembangan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah dari waktu kewaktu senantiasa mengambil isu masalah kesesuaian antara apa yang diajarkan di sekolah dengan kesesuaiamnya di tengah masyarakat, baik dalam bentuk isu "pembentukan siswa yang siap pakai dan bukan hanya siap tahu", kemudian, perlunya link and match antara pelayanan sekolah dengan tuntutan masyarakat kerja" atau sering disebut "kurikulum berbasis kompetensi" semuanya itu mengarah pada tercapainya kesesuaian antara kajian akademis terhadap masalah sosial di sekolah dengan tuntutan masyarakat pada lulusan itu sendiri (Hadi Nur, 2003 : 15 ).

Oleh karena itu pengembangan kurikulum harus diselaraskan atau diikuti dengan pengembangan model pembelajarannya (Sa'dun Albar, 2003). Salah satu di antara model pcmbelaiaran yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran IPA adalah model pembelajaran problem solving. Penggunaan model pembelajaran problem solving pada bidang studi fisika mempunyai tujuan ; yaitu menerapkan pengetahuan siswa dan mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalalm-masalah dengan keterampilan berfikir secara kritis (Rama W, 1990). Model pembelajaran seperti ini sangat relevan untuk meningkatkan daya kreativitas siswa yang berhubungan dengan konsep-konsep fisis dan dinamika sosial yang timbul, jika diimbangi dengan penggunaan pendekatan dan metode pembelajaran yang sesuai, lingkungan (latar) yang kondusif dan sarana prasarana yang memadai serta eksistensi guru yang profesional (Jurnal Educational Leadership: 1993, dalam Supriadi: 1998)

Langkah langkah Pembelajaran

Untuk memperoleh hasil pembelajaran yang signifikan, maka pola pembelajaran dengan model problem solving dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses dan lingkungan (latar) serta metode yang dianjurkan oleh kurikuium, yaitu diskusi / informasi, eksperimen dan karya wisata merupakan sebuah alternatif pilihan. Model pembelajaran tersebut setelah diuji cobakan, di kelas X- SMA 1 Sumenep membutuhkan waktu sekitar 2 x 45 menit untuk semua jenis kompetensi dasar bidang studi IPA. Skenario pembelajaran adalah sebagai berikut : Pada awal pembelajaran guru menunjukkan beberapa media di kelas atau peralatan laboratarium sekolah atau suatu obyek di luar sekolah, kemudian guru memberikan penjelasan secara singkat tentang media, alat laboratorium atau suatu obyek pembelajaran tersebut. Setelah itu guru mengajukan suatu pertanyaan yang harus dijawab oleh siswanya. Pertanyaan yang diberikan oleh guru tersebut adalah pertanyaan yang berhubungan dengan konsep dasar ilmu pengetahuan alam sebagai prasayarat yang harus dimiliki oleh siswa dalam mempelajari pokok bahasan yang akan dibahas. Jika siswa merespon dan saling berebut untuk menjawab pertanyaan, maka guru harus segera memberikan penegasan dari jawaban siswa yang paling benar, kemudian guru mendistribusikan pertanyaan berikutnya melalui Lembar Kerja Siswa (LKS) kepada seluruh siswa di kelas. LKS tersebut di dalamnya berisi sebuah problematika konsep IPA yang harus dipecahkan secara kolektif oleh siswa dalam suatu kelompok-kelompok kecil. Problematika konsep IPA yang termuat di dalam LKS mungkin bisa dipecahkan hanya melalui suatu media atau harus melakukan eksperimen atau meninjau keberadaan obyek di luar kelas. Pemecahan masalah dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan sebuah kejelasan dan kesimpulan. Pada saat siswa melakukan proses pemecahan masalah, aspek kerjasama, kekompakan, gotong royong dan kebersamaan serta kepedulian sangat dibutuhkan, oleh karena itu guru diharapkan mampu memberikan motivasi untuk dikembangkan, sehingga nilai-nilai kebudayaan tersebut secara tidak langsung telah tertanam pada jiwa setiap siswa (Koentjaraningrat, 1985: 25). Jika problematika tersebut sudah selesai dipecahkan oleh setiap kelompok, maka hasilnya perlu didiskusikan lagi antar kelompok. Disinilah peran guru sebagai fasilitator dan moderator, yaitu memfasilitasi sarana diskusi dan sekaligus mengatur jalannya diskusi kelas (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000). Hasil akhir siswa harus memberikan kesimpulan, yaitu berupa rangkuman dari hasil diskusi antar kelompok siswa yang sudah mendapat persetujuan dari guru sebagai moderatornya.

Sesungguhnya model pembelajaran problem solving adalah sebuah model pembelajaran yang menggabungkan antara pendekatan, strategi serta tujuan pembelajaran (Conny Semiawan, 1986). Pola pembelajaran dengan sistem pendekatan ini nampak bahwa siswa bersedia menjawab suatu masalah yang biasa diberikan oleh gurunya, peran siswa begitu sangat aktif, sehingga sistem sosial juga muncul, yaitu hubungan yang interaktif dan komunikatif antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Hal ini semakin nampak ketika guru memberikan pertanyaan kepada siswa dan saat siswa melakukan diskusi antar siswa dan antar kelompoknya. Jawaban atau kesimpulan yang diberikan oleh setiap kelompok sangat beragam, sebelum proses pembelajaran berakhir guru perlu memberikan wawasan bahwa hasil pengamatan, hasil praktikum dan sebagainya tidak akan mencapai hasil yang optimal karena terbatasnya kemampuan alat dan terbatasnya kemampuan indra manusia dalam proses observasi apalagi proses pengukuran. Oleh karena itu, guru bisa memberikan komentar yang sifatnya riligius pada siswa, bahwa apa saja yang ada di dunia ini tidak ada yang mempunyai sifat ideal (sempurna), jika kita ingin menggali kebenaran konsep IPA, pertanyaan yang terakhir adalah siapa yang mengatur dan siapa yang mengendalikan? Jika siswa menyadarinya, maka tujuan akhir Pembelajaran fisika telah berhasil, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Depdikbud, 1984).

Dengan demikian, dari seluruh uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa model pembelajaran problem solving dapat meningkatkan prestasi belajar IPA siswa di kelas X SMA 1 Sumenep.

C. Saran

Agar dapat menghasilkan sebuah pengembangan model pembelajaran bidang studi IPA di sekolah seoptimal mungkin, maka :

1. Pola pembelajaran dengan model problem solving dengan menggunakan pendekatan ketermpilan proses dan lingkungan serta metode yang dianjurkan oleh kurikulum yaitu diskusi/informasi, eksperimen dan karya wisata, hendaknya diprioritaskan untuk dipublikasikan sebagai buku pegangan guru;

2. Kemampuan guru dalam pengembangan model pembelajaran IPA melalui penelitian tindakan kelas (action research) masih sangat terbatas, oleh karena itu perlu perbaikan kinerja guru, yaitu proses pengembangan pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas (PTK). Kemudian produk PTK tersebut digunakan sebagai alat penilaian kinerja guru;

3. Pengembangan wawasan dan kemampuan guru secara nasional tentang pengembangan materi, metode, media dan evaluasi perlu diprioritaskan;

4. Implementasi kurikulum berbasis kompetensi bidang studi IPA perlu diikuti dengan pengurangan beban tugas yang bersifat administratif agar mereka bisa lebih terfokus pada pengembangan dan peningkatan praktek Pendidikan yang dilakukannya melalui proses pembelajaran.

5. Praktisi pendidikan agar memiliki kesadaran terhadap penggunaan potensi latar sebagai media dan narasumber pembelajaran, perlu ditingkatkan. Di samping itu, dana, transportasi, waktu dan keamanan siswa perlu dipertimbangkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud. 1977. Pembinaan dan Pengembangan Kurikudum. Jakarta: Ditpend Guni dan Tenaga Telcms

Depdikbud. 1994. Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Ditsen Dikdasmen.

Depdikbud. 1984. Petunjuk Pelaksanaan Kurikulum. Jakarta: Ditjen Dikdasmen. Nur Hadi. 2003. Pengembangan Kurikutum. Malang_ Universitas Kanjuruhan.

5. Meng6imbau

 

 

 Back To Daftar Isi

WAWANCARA

KH. Muhammad Idris Jauhari

SDM Guru, Tetap Lebih Penting dari Metode

 

Mencapai target keberhasilan di dalam proses pendidikan merupakan dambaan yang paling diharapkan. Pendidikan yang tengah dikelola oleh siapapun dan bangsa ini secara umum arahnya tetap mengacu pada keinginan besar untuk melahirkan produk-produk unggulan yang berbobot atau manusia seutuhnya. Dan, sebuah metode dalam konteks pembelajaran dan pendidikan pada hakikatnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Proses belajar mengajar dengan demikian, harus dibarengi dengan metode yang betul-betul sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan dunia pendidikan serta perkembangan kehidupan yang semakin menantang, sehingga akan tercipta suasana pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Apa dan bagaimana makna penting sebuah metode dalam proses belajar mengajar serta bagaimana wujud metode pembelajaran inovatif itu sebenarnya? Berikut hasil wawancara Mohammad Suhaidi RB dari Jurnal EDUKASI dengan KH. Muhammad Idris Jauhari, pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep, 11 November 2005

 

Dalam konteks proses belajar mengajar, apa yang disebut dengan metode pembelajaran menjadi sesuatu yang niscaya. Seberapa jauh keberadaan sebuah metode dalam proses pembelajaran?

 Sebetulnya, yang paling penting bukan hanya sekedar metode dalam pengertian sebuah cara, tetapi lebih luas lagi adalah sistem. Hal itulah yang mungkin perlu kita kaji ulang secara terus menerus. Karena pendidikan itu merupakan salah satu upaya untuk membantu manusia, sementara kebutuhan manusia terus berkembang dan semakin kompleks.

 

Kalau ngomong sistem pembelajaran di Indonesia secara umum dan di Sumenep secara khusus, apa sudah bisa dianggap telah mengalami perkembangan yang signifikan?

Perkembangannya saya lihat baru pada sistem pembelajaran, belum menyentuh pada sistem pendidikannya.

 

Kalau sistem pembelajaran masih dalam kerangka baru berkembang, bagaimana sistem pembelajaran yang masih dalam taraf memulai ini dapat lebih berkembang lagi kiyai?

 Saya ngomong hal ini berdasarkan keyakinan bahwa yang bernama pendidikan itu harus menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, baik menyangkut hubungan dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan alam. Semestinya beberapa bidang interaksi semacam itu harus dapat menjadi bidang garapan pendidikan. Pendidikan jangan hanya dilihat dari satu segi saja.

 

Dalam konteks metode pembelajaran hari ini, dunia pendidikan kita sepertinya tengah dipenuhi oleh semakin banyak metode pembelajaran yang muncul. Menurut kiyai apakah kenyataan ini akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan yang ada?

Kalau berbicara tentang efektif tidaknya sebuah metode, hal itu saya kira akan kembali pada manusianya. Walaupun, ada istilah yang menyebutkan bahwa metode itu lebih penting daripada substansi materi, tetapi menurut saya SDM manusianya tetap jauh lebih penting daripada metode. Katakanlah, seseorang yang menguasai banyak teori tentang metode pengajaran dan pendidikan, tetapi dalam prakteknya di lapangan tidak siap, karena faktor SDM itu tadi, ini khan masalah.

 

Dengan kata lain, kiyai apatis dengan metode yang ada, tanpa adanya komitmen utuh untuk mempraktekkannya?

 Nggak juga. Hanya memang di dunia ini tidak ada metode yang paling baik. Mungkin saja metode Quantum Learning atau Quantum Teaching bagi orang-orang Amerika itu sangat bagus, tetapi belum tentu bagi orang-orang yang ada di desa metode itu cocok. Jadi, yang ada menurut saya adalah metode yang paling tepat saja.

 

Kira-kira metode pembelajaran yang paling ngepas terutama bagi pendidikan yang ada di desa-desa seperti apa kiyai?

 Ya, diperlukan adanya semacam observasi, penelitian dan kajian dulu, apakah metode yang diberikan akan sesuai dengan kondisi dan situasi anak didik

 

Mungkin kiyai bisa memberikan gambaran tentang metode-metode pembelajaran yang telah dikembangkan di lembaga kiyai hari ini?

 Kalau kita mungkin masih tetap. Pertama, mengacu pada metode-metode yang telah dilahirkan oleh para ahli dan sudah teruji di lapangan serta telah menjadi pegangan dasar. Apapun metode tersebut, saya kira cukup banyak sekali. Akan tetapi, kita tetap yakin bahwa pada akhirnya yang dibutuhkan adalah tetap unsur manusia seperti yang telah saya katakan. Cocok nggak ya dengan metode yang ini? Dengan cara demikian, saya kira seorang guru akan terus mencari dan mencari. Wong dalam satu kelas saja dengan murid yang beragam dan heterogen, itu saya kira dubutuhkan adanya metode yang bermacam-macam pula.

 

Intinya, munculnya banyak metode belakangan ini tidak dapat dijadikan tolok ukur tentang perkembangan pendidikan?

Tidak harus. Setahu saya, masih diperlukan adanya penelitian-penelitian di lapangan, survei dan kemampuan guru dalam membaca situasi yang ada.

 

Kita mungkin harus jujur mengatakan dalam realitas di lapangan, penyelengggaraan pendidikan kita, terutama di Sumenep masih cenderung konvensional dan miskin inovasi di bidang metode pembelajaran, pendapat kiyai?

 Kalau menurut saya, tetap kembali pada manusianya yang harus inovatif. Karena dalam pendidikan yang harus dikedepankan adalah sikap tidak mudah merasa puas. Hal ini berarti, kita tidak pernah merasa cukup dan puas dengan apa yang telah dicapai hari ini. Jadi, bagaimana hasil yang telah kita peroleh hari ini dapat dikembangkan di hari esok. Dengan demikian, kalau setiap pendidikan, baik nor-formal dan formal sudah memiliki jiwa-jiwa yang inovatif, maka muncullah keinginan-keinginan untuk berdiskusi, bertukar pikiran serta mencoba mengkaji beberapa metode yang telah dipakai dalam sebuah lembaga pendidikan, sehingga akan mampu memunculkan inovasi. Oleh karena itu, kalau kita sudah puas dengan apa yang kita capai hari ini, maka jiwa-jiwa yang inovatif itu akan sulit muncul.

 

Ada sebuah sinyalemen yang mungkin bisa dibilang baru bahwa guru yang baik adalah guru yang tidak mendominasi dalam proses belajar mengajar. Hal ini tampak masih kita rasakan dalam setiap proses pembelajaran di tengah-tengah masyarakat. Adanya dominasi guru semacam ini kemudian dianggap sebagai salah satu bentuk pematian kreatifitas bagi anak didik karena acapkali menafikan aspek partisipasi anak didik itu sendiri. Pendapat kiyai?

Menurut saya, guru memiliki dua fungsi dalam pendidikan. Pertama, berfungsi membantu anak didik untuk menjadi dirinya untuk mengembangkan potensinya ke tingkat yang paling maksimal. Kedua, berfungsi mengarahkan. Jadi, selain memberikan kesempatan pada anak untuk berkembang sesuai dengan potensinya, juga ada keinginan dan tujuan-tujuan tertentu pada diri anak. Dari dua aspek inilah, harus dapat disinergikan sedemikian rupa, sehingga akan berjalan bersama. Kalau guru misalnya, hanya memaksakan kehendak saja, karena ada target-target tertentu yang harus dicapai tanpa melihat pada potensi yang dimiliki anak didik, ini kan kurang baik. Sebaliknya, kalau guru hanya sekedar mendidik anak, tanpa adanya sebuah konsep untuk membentuk diri anak. Maka akan terciptalah kebebasan yang saya kira tidak baik.

 

Akan tetapi idealisme seorang guru seperti yang dikatakan kiyai tampak masih belum menjadi komitmen dan dapat diterjemahkan oleh para guru. Guru tampaknya masih tetap dalam bingkai paradigma klasiknya hanya mengajar dengan model apa adanya atau hanya sekedar mengajar tanpa ada kesadaran ke arah itu. Upaya apa yang harus dilakukan untuk mengubah paradigma pembelajaran para guru ke arah paradigma pembelajaran seperti yang telah kiyai sebutkan?

 Saya kira dengan cara mengubah mental. Guru jangan mudah merasa puas dengan apa yang telah dihasilkan. Misalnya puas hanya dengan DANEM yang telah dihasilkan oleh anak didik melalui EBTANAS. Si guru jangan mudah merasa bangga dengan hasil itu, karena pendidikan bukan hanya sekedar itu. Ada aspek-aspek lain yang harus kita kejar.

 

Pada sisi kesadaran itu saya kira menarik, kalau pada sisi kualitas guru sendiri bagaimana kiyai?

 Ya, itulah tadi, kalau guru sudah mulai tidak puas dengan hasil yang telah dicapai oleh anak didik, dia akan terus termotivasi untuk mencari hal-hal yang baru. Dari sinilah akan muncul ide-ide inovatif

 

Dengan kata lain, posisi guru dalam pembelajaran bukan hanya sekedar memberikan materi, tetapi juga harus mampu menyadarkan dan memotivasi anak didik?

 Bukan hanya pada anak didik, tetapi juga pada diri guru sendiri. Ia harus selalu memotivasi dirinya untuk selalu mencari dan mencari yang baru. Apalagi saat ini, telah banyak buku-buku baru tentang metode pembelajaran, dengan buku-buku tersebut, saya kira bisa dijadikan bahan bacaan oleh para guru, kemudian diterapkan, lalu dikaji dan dievaluasi. Atau ada juga program seperti yang dilaksanakan di sini (al-Amien, prenduan, red) sebelum smesteran ada program presentasi RIPP (Rencana Induk Program Pendidikan). Contoh pelaksanaan dari program ini, seorang guru sejarah misalnya, di awal tahun memberikan gambaran terlebih dahulu tentang materi yang akan diberikan, menjelaskan apa maunya lembaga terkait dengan kurikulum yang ada. Jadi, ada penjelasan tentang bagaimana materi itu sekaligus juga dijelaskan bagaimana capaian yang akan dicapai selama proses pembelajaran. Setelah itu, guru meminta komentar pada anak didik terhadap apa yang telah dijelaskan itu. Kalau misalnya anak didik menuntut lebih. Misalnya anak bilang bahwa itu terlalu banyak, maka guru harus mengurangi.

 

Apa mungkin, model RIPP semacam ini bukan bentuk lain dari KBK misalnya?

Itu hanya semacam rencana pembelajaran yang akan diajarkan selama satu smester. Ya, semacam gambaran singkat. Kalau anak setuju, ya bisa terus berjalan atau malah sebaliknya. Dengan ini saya kira, proses pembelajaran akan dapat berjalan secara demokratis.

 

Dengan model semacam ini apakah hasilnya sudah bisa dipastikan kiyai?

 Ya pasti, karena anak sudah memiliki gambaran tentang pelajaran selama satu smester. Mereka masuk sekolah tidak semata-mata hanya menunggu ilmu dari guru, tapi sudah punya gambaran awal, apa yang akan diajarkan oleh guru.

 

Kalau peran pemerintah sendiri untuk menopang terwujudnya dunia pendidikan dengan model-model pembelajaran yang inovatif semacam ini, kira-kira bagaimana kiyai?

Saya pikir, kita sudah mempunyai Undang-Undang tentang pendidikan. Nah, kalau misalnya kita merujuk pada hal itu, seharusnya pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, regulator (dalam pengertian melakukan regulasi-regulasi yang benar di dalam pendidikan) dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mengembangkan konsep-konsep pendidikan berupa sistem yang sesuai dengan situasi dan kondisi anak didik. Jadi tidak boleh top down.

 

Selama ini apakah peran-peran tersebut telah dterjemahkan oleh pemerintah?

Untuk beberapa hal, saya kira sudah diterjemahkan.

 

Misalnya kiyai?

 Misalnya program BOS. Itu khan merupakan bantuan pemerintah dan bentuk fasilitas yang telah diberikan ke sekolah-sekolah serta penyusunan kurikulum yang bersifat nasional.

 

Terakhir, pesan kiyai untuk para guru agar dapat melakukan proses pembelajaran yang efektif dan menyenangkan?

 Saya kira, guru jangan mudah puas dengan hasil yang telah dicapai. Harus lebih bersifat kreatif, inovatif dan harus melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kemudian, pemerintah (Diknas) harus memfasilitasi dengan cara memberikan semacam inservice training dan kursus-kursus kilat pada para guru guna menambah wawasannya.

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL LEPAS

Cara Baru Mengajar Gramatika B. Arab.  

Abdul Wahid Hasan

Pada Mulanya…

Kegelisahan ini berawal dari pengalaman pribadi; kegelisahan tentang mengapa begitu sulit untuk bisa memahami teks berbahasa Arab (Kutub ash-Shafra’: kitab kuning)? Betapa banyak siswa (bahkan yang tinggal di pesantren/santri) yang lulus Aliyah (bukan Sekolah Menengah Umum) yang tidak bisa membaca teks berbahasa Arab, bahkan buku yang paling dasar dan mudah seperti Fath al-Qarib sekalipun? Atau betapa banyak sarjana yang sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun di sebuah lembaga pendidikan Islam, tetapi tetap saja masih tertatih-tatih ketika disuruh membaca teks berbahasa Arab? Bahkan mahasiswa (atau sarjana) yang oleh teman-temannya sudah mendapat lebel “bisa” membaca teks Arab (seperti penulis misalnya), ternyata masih kelabakan ketika harus membaca tulisan Muhammad Abed al-Jabiri, Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid dan karya-karya besar ulama kontemporer yang lain. Apanya yang salah? Otak mahasiswa? Sistem pengajaran? Atau apa?

Secara jujur memang perlu diakui bahwa struktur kalimat dan perubahan kata kerja dalam Bahasa Arab memang lebih jlimet dan sulit dibandingkan dengan Bahasa Inggris. Tiga tahun yang lalu penulis pernah belajar Bahasa Inggris secara serius selama 5 bulan, dan ternyata skor TOEFL penulis mencapai 494 (walalupun banyak spekulasinya). Lantas, jika Bahasa Inggris bisa dikuasai dalam jangka waktu 5-6 bulan, apakah Bahasa Arab –yang sedikit lebih sulit-- tidak bisa dikuasi dalam tempo satu tahun (dua kali lipat) atau satu tahun setengah (tiga kali lipat)? Tulisan ini mencoba menawarkan model pembelajaran (dan belajar) Bahasa Arab yang lebih cepat dan praktis.

 Perlu Pemangkasan.

Model pengajaran Nahwu dan Sharraf sebagai komponen penting dalam Bahasa Arab yang selama ini penulis ketahui di berbagai lembaga pendidikan Islam, khususnya di pesantren masih sangat “lamban”, berliku-liku dan memiliki beberapa kelemahan. Pertama, waktu belajar siswa lebih banyak dihabiskan pada hal-hal yang tidak penting dan “kurang berguna”, seperti menghafalkan kaidah-kaidah (bait-bait nadham), memberi makna kata-kata perkata nadham tersebut, menulis murad (maksud dari sebuah bait nadham), dan lain-lain. Jadi untuk mengetahui isim mufrad (kata benda tunggal), misalnya, siswa harus melalui, setidaknya, tiga tahap: memaca nadham, memberi makna kata-perkata dan menulis murad. Tiga tahap ini bisa menghabiskan waktu 5-10 menit. Belum lagi penjelasannya, yang tentunya memakan waktu yang variatif dan relatif lama.

Lucunya lagi, siswa bisa dikatakan pandai gramatika Bahasa Arab kalau bisa menyebutkan definisi mubtada’, misalnya, lengkap dengan kaidah mubtada’ di Alfiyah dan ‘Amrithi. Dua kitab ini seakan-akan melebihi Alqur’an dan hadis sehingga mesti dihafalkan secara berurut. Bahkan lebih gagah lagi, seperti pernah disinyalir oleh Noer Khalis Madjid, jika dia bisa menghafal sungsang (menghafal dari belakang ke depan). Betapa banyak umur siswa yang dihabiskan hanya untuk menghafal bait-bait nadham tersebut.

Mitos-mitos yang mengelilingi dua kitab tersebut pun berkembang. Konon, buku Alfiyah ini ditulis hanya dalam waktu semalam.Konon lagi, Kyai Khalil Bangkalan menjawab semua persoalan hukum Islam hanya dengan memakai kaidah-kidah yang ada di dalamnya. Dan konon lagi, bait-baitnya bisa dijadikan “jimat”, dengan menghafal Alfiyah bisa alim semua kitab nahwu yang lain, dan sebagainya, dan sebagainya. Maka tidak aneh jika kemudian kita mendapatkan siswa (terutama santri) yang dengan setia, tekun dan penuh optimisme, menghabiskan sebagian besar umurnya hanya untuk menghafalkan bait-bait kitab tersebut. Bahkan setelah kelak dia pulang kampung, anak perempuannya diberi nama Alfiyah. Entah harapan apa yang ada di benaknya.

Jika kita bandingkan, model pembelajaran tersebut sama dengan model pembelajaran baca Alqur’an tempo dulu, yang untuk mengetahui bacaan “kanu” misalnya, masih harus melalui tahap pengejaan kaf fathah ka, nun wawu suku dhammah nu. Setelah itu bacaan yang keluar dari mulut siswa terkadang masih bukan “kanu” tapi “janu”, “kana” dan lain-lain. Untung kemudian ditemukan metode Iqra’, Qiraati dan lain-lain yang memangkas tahapan-tahapan tersebut, sehingga anak dalam usia empat tahun sudah banyak yang bisa mengaji.

Oleh karena itu sudah saatnya kita memangkas semua hal yang memperlamabat dan menghambat siswa untuk mengetahui isim mufrad, fail, maf’ul dan lain-lain. Tanpa kaidah pun, siswa pasti bisa mengerti dan memahami. Kaidah hanyalah pelengkap, bukan tujuan. Namun selama ini kita lebih suka memburu “pelengkap” tersebut dibandingkan “tujuan”.

Kedua, oreintasi dan model pengajarannya adalah menganut pola “tartibisme”: membaca secara tuntas dari A sampai Z sebuah buku tertentu. Maka bisa dipastikan, hal pertama yang diajarkan pada siswa (oleh guru nahwu) adalah pengantar kitab (muqaddimah) dan kalam yang sebenarnya nyaris tidak memiliki fungsi apa-apa ketika membaca teks Arab. Pengantar dan kalam ini saja sudah menghabiskan 3-4 pertemuan (360-480 menit). Setelah itu siswa berlama-lama di isim maushul, isim isyarah, kana, inna, dan lain-lain, karena urutan dalam kitab nahwu klasik memang seperti itu.

Padahal, mestinya, belajar bahasa apapun, yang perlu ditekankan pertama kali, adalah sturuktur kalimat yang terdiri dari subyek+predikit, ada obyek dan keterangan (S+P+O+K). Dalam Bahasa Arab pola ini dikenal dengan pola Fi’il+FA’il+Maf’ul atau pola mudtada’ + khabar. Jika lima poin ini sudah dikuasai secara baik, maka bisa dipastikan, seseorang sudah mulai bisa berjalan (walaupun sesekali harus jatuh) dalam membaca teks berbahasa Arab. Dan untuk mengetahui kelima point tersebut, sekali lagi, tidak perlu dengan kaidah! Setelah itu barulah diperkenalkan isim maushul, isim isyarah, kana, inna dan perangkat-perangkat pelengkap lain, secara sekilas saja. Biarlah mereka yang hendak masuk di jurusan BSA (Bahasa dan Sastra Arab) saja yang mendalami seluk-beluk dan detail-detailnya.

Pemangkasan ini sangat perlu, penting dan amat mendesak karena materi pelajaran yang dihadapi siswa berjumlah puluhan, yang semuanya perlu dan penting. Belum lagi pengetahuan tentang komputer, akutansi, manajemen organasisasi dan lain-lain. Jika pemangkasan ini tidak dilakukan, maka out put nya tidak akan seperti yang diharapkan. Bahkan bisa saja materi yang lain juga tidak akan dicapai secara maksimal. Dan jika itu terjadi maka siswa, seperti pepatah Madura, seperti anggay, ngabber ta’ tenggi, nyoreg ta’ dhalem. Dan kesalahan itu bukan, semata-mata, terletak pada mereka, tetapi lebih banyak pada kita semua, para guru yang masih belum tercerahkan.

Kembali ke Akar Kata: Buatkan Seribu Contoh.

Pendifinisian sesuatu dengan menunjukkan bisa lebih memberikan pemahaman dibandingkan dengan menggambarkan (karena langsung bersentuhan dengan objek). Begitu kira-kira kata hikmah yang terdapat dalam logika tradisional Yunani. Kalimat pendek tersebut sebenarnya menjadi amat berharga jika dipahami secara baik oleh para pengajar, termasuk pengajar tata bahasa. Seorang anak akan lebih mengerti tentang “seekor kera” misalnya, jika kita membawa mereka ke kebun binatang, ke hutan atau kemana saja dan menunjukkan “ini kera” kepadanya, daripada diberi definisi “kera adalah hewan yang…” Dia akan semakin mengerti jika kita menunjukkan kera dalam berbagai variasinya: jenis, jenis kelamin, warna bulu, gaya melompat dan sebagainya. Semakin banyak dia melihat dan bersentuhan langsung dengan “kera” dengan berbagai variasinya, semakin paham dia tentang “apa kera” itu..

Dengan menunjukkan secara langsung maka seorang anak akan mengerti tentang “kera”, meskipun, bisa saja, dia tidak bisa mendefinisikan kera melalui kata-kata. Apalah arti sebuah definisi jika pada saat bertemu dengan sesuatu yang didefinisikan kita tidak merasakan bahwa sesuatu itu adalah apa yang kita definisikan.

Pada saat mengajarkan gramatika bahasa Arab (termasuk juga materi yang lain), pendefinisian dengan cara “menunjukkan” secara langsung juga merupakan hal yang sangat penting. Penunjukan ini tentunya dengan mengajak siswa untuk melihat secara langsung contoh-contoh fa’il, mubtada’, maf’ul dan lain-lain yang banyak berterbaran dalam teks berbahasa Arab dengan segala variasinya.

Penunjukan dalam hal ini memang tidak akan semudah seperti menunjukkan “kera” (yang lebih kongkrit) kepada seorang anak, karena fa’il, maf’ul, mubtada’, khabar dan seterusnya lebih bersifat abstrak. Oleh karena itu penunjukan sebanyak-banyaknya terhadap hal tersebut menjadi keniscayaan sehingga setelah terlatih, dengan sendirinya siswa akan mengerti dan terbiasa.. Maka seorang pengajar mesti mempersiapkan “seribu” contoh (untuk setiap mauqi’: posisi kalimat dalam gramatika Bahasa Arab seperti fa’il, ma’ful, dan seterusnya) untuk ditunjukkan kepada siswanya. Contoh-contoh tersebut tentunya contoh yang “kaya”, yang tidak hanya berkutat pada kata “ daraba zaidun ‘Amran” , “Zaidun Qaimun”, “raitu Aba Bakrin” dan contoh-contoh konvensional lainnya, yang jarang sekali ditemukan ketika sudah membaca teks Arab. Pada giliran selanjutnya, berikan mereka tugas untuk mencari sendiri. Tentunya tetap dalam bimbingan dan pengawasan para guru.

Pemberian contoh yang banyak dan kaya inilah sebenarnya yang menjadi ruh dari ilmu nahwu. Sebab secara harfiyah nahwu berarti contoh. Namun dalam praktik pengajarannya, “contoh” sebagari ruh dari nahwu kurang mendapat perhatian serius. Dengan demikian upaya untuk “menunjukkan” fa’il dan teman-temannya yang lain dengan contoh menjadi gagal karena, meskipun ada, “contoh” yang diberikan amat terbatas dan “sangat miskin”. Perhatian para pengajar nahwu telah tersedot habis pada bagaimana caranya agar siswa bisa hafal bait-bait syair (nadham). Padahal sesungguhnya, semakin banyak contoh yang diberikan, semakin mudah siswa memahami dan mengkonkritkan sesuatu yang sebelumnya masih abstrak.

Pengayaan Wacana, kosa kata dan Penguasaan Istilah

Suatu ketika, penulis diminta oleh seorang teman untuk menerjemahkan buku al-Akhlaq wa as-Siyasah al-Islamiyah karya Dr. Mamduh. Buku ini berisi etika dan teori politik Islam. Karena penerjemahan itu berbentuk tim, penulis kebagian menerjemahkan satu bab yang berisi konsep dan pandangan ulama Islam tentang politik, seperti pandangan al-Gazali, al-Mawardi, Al-Farobi, Abdurraziq dan lain-lain. Dengan mudah penulis bisa membaca buku itu, sesuai dengan aturan gramatika Bahasa Arab. Namun meskipun penulis bisa membaca, ternyata penulis tidak bisa memahami. Kamus al-Munawwir dan al-Mawrid yang penulis miliki tidak banyak membantu. Akhirnya penulis membeli buku Tata Negara-nya almarhum Munawwir Syadzali. Setelah selesai membaca buku itu, barulah penulis bisa memahami pesan dan maksud dari tulisan Mamduh tersebut.

“Miskin wacana”. Itulah kira-kira yang penulis alami ketika membaca buku tersebut. Basic pendidikan penulis yang tarbiyah menjadi sulit membaca buku yang siyasiyah (politik), apalagi yang berbau filsafat. Oleh karena itu, latar belakang pendidikan, pengalaman membaca berbagai jenis buku dari karya orang yang beragam merupakan bekal yang amat berharga untuk bisa “memahami” sebuah pesan yang tersembunyi di balik teks. Jika penulis disuruh menerjemahkan buku Kahlil Gibran, maka pastilah hasilnya tidak akan sebaik dan seindah terjemahan yang dilakukan oleh Muhammad Faizi al-Kaelan. Jika Faizi disuruh menerjemahkan buku Tahafut al-Falasifah-nya al-Gazali, maka pastilah hasilnya tidak akan sebaik terjemahan yang dilakukan oleh Ach. Maimun Syamsuddin, yang memiliki basic filsafat. Demikian seterusnya.

Maka, sebenarnya, kita tidak boleh terlalu kagum kepada “si itu” atau “pak anu” dengan mengatakan bahwa mereka alim karena bisa membaca kitab kuning. Untuk yang terlanjur mendapat lebel “bisa” membaca kitab kuning, kita perlu bertanya: kitab apa yang dia baca? Kalau basic pendidikannya pesantren salaf, dia akan lancar membaca Fath al-Mu’in,Fath al-Wahhab dan kitab-kitab klasik lain yang notabene gaya dan sturuktur bahasanya sama. Akan tetapi, bisa kita pastikan, bahwa orang tersebut tidak akan bisa paham ketika membaca buku Takwin al-‘Aql al-Arabi-nya Muhammad Abed al-Jabiri, Tarikh al-Islam-nya Muhammad Arkoun, atau Mafhum an-Nash-nya Nashr Hamid Abu Zaid, karena dia tidak menguasai “wacana” dan istilah-istilah teknis yang ada dalam buku tersebut. Kita yang hanya terbiasa membaca buku fikih di bab Thaharah dan Shalat, akan kesulitan ketika membaca bab buyu’ (jual beli), jinayah (kriminalitas) dan lain-lain. Demikian seterusnya…

Pengayaan wacana dan dan penguasaan berbagai istilah teknis yang “khas” di buku-buku dan bab-bab tertentu menjadi sebuah kemestian yang harus diupayakan semaksimal mungkin. Upaya ke arah tersebut bisa dicapai dengan membaca banyak buku, baik yang berbahasa Inggeris, Indonesia dan bahasa-bahasa yang lain, termasuk juga dengan memperkenalkan istilah-istilah teknis tersebut melalui “contoh-contoh” ketika sedang mengajarkan gramatika Bahasa Arab.

 Kata Akhir: Ini Bukan Sekadar Teori.

Apa yang telah penulis sampaikan, mungkin agak terasa “meledak-ledak” karena, di antara ide penulis adalah menyingkirkan buku Alfiyah-nya Ibnu Malik dari sekolah-sekolah formal (terutama di tingkat MTs lembaga pendidikan pesantren). Penyingkiran itu sebenarnya adalah wujud lain dari bentuk penghormatan penulis terhadap buku besar tersebut. Buku itu terlalu agung untuk diberikan secara instan dan berurutan kepada siswa tingkat menengah. Buku itu adalah ibarat “nasi” yang tidak bisa diberikan begitu saja kepada seorang bayi, jika kita ingin bayi itu bisa terus berlangsung hidup secara normal. Kita ambil sari patinya saja dan kita berikan dalam bentuk yang lain.

Beberapa tahun terakhir penulis telah mencoba “memeras” kandungan buku tersebut dan menjadikannya dalam wujud lain, yang di antaranya, seperti yang penulis sampaikan dalam tulisan ini. Hasil perasan tersebut telah penulis “ujicobakan” kepada seorang siswa yang ternyata hasilnya cukup bagus. Bagus dalam arti bahwa hanya dalam kira-kira 30 kali tatap muka, dengan alokasi waktu kurang lebih 60 menit (sekitar ±1800 menit/30 jam), dia sudah bisa “berjalan”, meski masih sering jatuh. Persoalannya bukan lagi pada fi’il-fa’il-maf’ul atau mubtada’-khabar, tetapi lebih kepada penguasaan kosa kata yang masih sangat terbatas.

Artinya, jika saja dia sudah belajar 90 kali tatap maka kemungkinan “jatuh”nya akan semakin menimal. Dan…setelah itu dia akan akan bisa berlari, bahkan lebih kencang dari penulis sendiri.

Semoga bermanfaat.

------

penulis adalah alumnus STIKA Guluk-guluk dan UIN Yogyakarta; Lumayan banyak buku berbahasa Arab yang sudah dia terjemahkankan dan diterbitkan oleh berbagai penerbit.

 

 

 Back To Daftar Isi

Teologi dan Liberasi Pendidikan Islam

(Wacana Keilmuan, Pembebasan dan Pendidikan Kritis-Transformatif)

Oleh. Mohammad Suhaidi RB.

Makna penting pendidikan1 dalam konteks negara kita telah ditempatkan pada posisi yang luar biasa. Pendidikan menjadi salah satu acuan sentral bagi bangsa yang masih dalam keadaan transisi ini untuk terus diperjuangkan dan diberdayakan. Isu-isu tentang pendidikan misalnya kerapkali menjadi bahan kampanye dan janji politis bagi pihak-pihak yang berkepentingan, setidaknya – walaupun tidak semua partai - persoalan pendidikan sempat dijadikan sebagai bahan kampanye di Pemilu legislatif dan Pilpres beberapa bulan yang lalu. Apalagi dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa modern dunia, kemajuan yang mereka raih tidak pernah lepas dari proses pendidikan bangsan yang terus menerus di galakkan.2 Pendidikan betul-betul dijadikan sebagai media untuk meraih kemajuan dan keberhasilan bangsa.

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah dinyatakan bahwa salah satu tujuan pencapaian kemerdekaan bangsa Indonesia ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa3. Target ideal yang bernama pencerdasan tersebut merupakan bentuk idealisasi di dalam pengembangan peradaban dan kemajuan bangsa. Hal ini sangat jelas sekali telah terbingkai di dalam tujuan esensial yang ingin dicapai, yaitu menciptakan manusia seutuhnya, yang ciri utamanya adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.4 Manusia yang beriman dan bertakwa merupakan kualitas keseimbangan yang menjadi substansi dari pengembangan pendidikan yang ada. Dengan begitu, proses kependidikan yang dilakukan –dalam konteks ini - dapat menjadi medium konkret di dalam pembentukan pribadi utuh yang mempunyai kualitas iman dan ketakwaan yang agresif.

Disinilah insan kamil akan menjadi idiom baru bagi terciptanya masyarakat beradab sebagai tonggak di dalam mewujudkan cita-cita umum masyarakat madani (civil sociey)5. Sebab, akar fundamental dari masyarakat madani pada hakikatnya bertumpu pada kesadaran6 elemen di dalamnya ; untuk dan demi cita-cita besar menjadi bangsa terdidik dan menjunjung tinggi semangat keadaban, yang pada gilirannya akan mampu memunculkan satu prinsip terciptanya masyarakat berperadaban dengan memegang setinggi-tingginya nilai luhur kemanusiaan.

Dalam konteks inilah, signifikansi pendidikan menjadi sebuah keniscayaan yang pasti dan diidealkan oleh siapapun – bukan hanya bangsa, tetapi juga agama – karena di satu sisi pengaruh pendidikan akan bergerak menjadi rahmat terhadap alam (rahmatan lil alamin), bahkan bukan hanya itu saja, pendidikan akan juga memberikan pengaruh terhadap gerak pemerintahan di dalamnya. Pendidikan akan menuntun ke pemerintahan yang baik, dan pada gilirannya pemerintahan yang baik mengarah ke pendidikan yang baik. Dengan cara ini pemberdayaan manusia akan baik pula.7

Efek kemanfaatan universal ini merupakan salah satu pengaruh besar dari pendidikan dalam skala yang lebih luas. Baik dan tidaknya pemerintahan di atas sangat ditentukan oleh kualitas dan pengembangan pendidikan yang dilakukan. Maka kemerataan dan komitmen kuat dalam pembangunan di sektor pendidikan menjadi hal yang niscaya untuk terus dikonkretkan. Sebab seperti yang telah menjadi keyakinan banyak orang, kematangan pendidikan yang berhasil dibangun akan melahirkan out put signifikan, yakni menjadi acuan kemana arah bangsa akan di bawa.

Acuan yuridis-formal yang dimiliki tentang konsistensi dalam upaya pemaknaan dan pemberdayaan pendidikan juga di atur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional dengan tegas memberikan tempat yang sangat terhormat terhadap pendidikan agama. Dalam pasal 39 ayat 2 ditegaskan bahwa bersama-sama Pendidikan Pancasila dan Pendidikan kewarganegaraan, Pendidikan Agama menjadi kurikulum wajib setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan.8

Idealisme yang tersirat maupun yang tersurat dalam UU tersebut telah menempatkan pendidikan (agama) sebagai salah satu piranti dan kekuatan utama di dalam proses pembentukan manusia seutuhnya ; manusia yang selain memiliki kualitas-kualitas intelektual, juga memiliki kualitas moral yang kaffah. Paduan dua kualitas semacam ini yang menurut hemat penulis yang menopang bagi terciptanya manusia seutuhnya.

Oleh karenanya, pendidikan (agama) pada gilirannya disadari telah menjadi sesuatu yang berarti di tengah-tengah kegagalan bangsa dalam melahirkan generasi berbasis keagamaan dan intelektual, setelah dalam praktiknya, hasil pendidikan dengan mengandalkan ilmu-ilmu non agama yang sepenuhnya tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas tehadap pemantapan nilai moral dan tidak mampu memberikan jawaban terhadap krisis sosial yang terjadi. Pendidikan keagamaan (Islam), setidaknya dapat melahirkan pribadi utuh yang mampu menjadi dirinya sendiri dan orang lain. Paradigma kesepahaman antara sebagai aku dan sebagai orang lain merupakan konsekwensi logis dari pemaknaan terhadap rasa persaudaraan secara sosial yang membutuhkan proses panjang yang mesti dibentuk melalui pendidikan yang kuat, sehingga dapat menjadi insan sempurna dengan kualifikasi kepribadian yang dapat menerjemahkan makna penting universalitas, pluralisme, moralitas dan transformasi makna dalam kehidupan sosial. Maka peran pendidikan – meminjam kalimat Munir Mulkhan - ialah bagaimana nilai positif (tentang kecerdasan, daya kreatif dan keluhuran budi) ini tumbuh subur jika tidak tepat bisa tumbuh sifat negatif; perilaku kekerasan, tak peduli sesama, atau kejahatan lain.9

Nah, disinilah kegagalan pendidikan akan menemukan titik kebenarannya. Problem sosial, krisis moral, serta kedzoliman kemanusiaan yang terjadi pada hakikatnya berawal dari kepunahan nilai-nilai pendidikan dan transformasi nilai yang absurd. Akibatnya pembentukan jati diri sebagai manusia yang manusiawi dengan nilai-nilai dasar kemanusiaannya tidak berhasil dibentuk.

Oleh karenanya, pendidikan (Islam) pada gilirannya akan terasumsi tidak mampu lagi menjadi jembatan untuk mewujudkan keutuhan pribadi sekaligus memberikan jalan lempang bagi pembebasan diri dari belenggu nafsu hewaniyahnya. Artinya, pendidikan mengalami kegagalan di dalam penguatan nilai-nilai moral kemanusiaan. Akibatnya, keadaban (civility)10 dan kesadaran kreatif yang notabenenya merupakan ciri sejati dari civil society yang secara substansial harus dibentuk melalui kekuatan pendidikan hanya menjadi mimpi yang kerontang. Pendidikan kemudian bisa terpersepsi sebagai term mandul dan tidak kuasa dalam mengubah sikap eksklusif ke arah sikap baru yang inklusif.

Demikian pula, kemajuan pendidikan yang diyakini akan menjadi salah satu penopang kemajuan serta gerak dinamis peradaban sama sekali tidak akan terbukti, seperti yang pernah diraih oleh Islam beberapa abad yang lalu, sehingga mampu menempatkan Islam sebagai agama yang betul-betul sesuai dengan jargon idealnya al-islam ya'lu wa la yu'la alaihi. Disinilah, letak dan peranan penting pengembangan keilmuan (pendidikan) dalam memajukan dan memicu perkembangan kehidupan serta mewujudkan masyarakat yang berkualitas.11 

Basis Teologi Pendidikan dan Kreatifitas Keilmuan

Beberapa jargon terkenal yang tertuang dalam Al-Qur'an tentang kedatangan Islam ialah sebagai hudan dan rahmat untuk seluruh alam (rahmatan lil alamin). Asumsi kerahmatan yang menjadi dasar pijakan Islam memuat satu cita-cita luhur terbangunnya keseimbangan dalam kehidupan dengan logika keadilan, kesejahteraan, kebersamaan dan kesamaan antar sesama. Kehadiran Islam sebagaimana yang diyakini merupakan medium utuh dalam menyempurnakan segala kebutuhan masyarakat. Maka al-Qur'an sebagai salah satu di antara dua kekuatan sumber Islam (sebelum hadist) oleh Fazlurrahman dianggap sebagai sebuah dokumen untuk umat manusia,12 karena al-'Qur'an bukan hanya memuat kandungan hukum normatif dan sejarah, tetapi, di dalamnya juga termuat berbagai konsep-konsep kehidupan, salah satunya konsep tentang ilmu pengetahuan. Bahkan asumsi Islam sebagai pengangkis umat dari kehidupan yang gelap ke arah kehidupan yang bercahaya merupakan lukisan konkret tentang pemaknaan tertinggi kedatangan Islam. Rasulullah yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima al-Qur'an, berperan untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut, menyucikan dan mengajarkan manusia (Qs. 67:2). Menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.13

Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan penciptaan manusia yang ditegaskan oleh al-Qur'an melalui surat Adz-Dzariat: 56 " Aku tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala akifitasnya sebagai pengabdian kepadaku".14

Asumsi di atas secara prinsipil menjadi batu loncatan fundamental Islam dalam menempatkan pembacaan sebagai bahasa lain dari proses pembelajaran yang menjadi bagian strategis kedatangan Islam. Dukungan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan yang oleh Al-Qur'an dibuka dengan diktum suci Iqro' sebagai titik awal kedatangan dan pengembangan risalah Islam. Peristiwa pentanzilan ayat ini sekaligus melambangkan komitmen kuat Islam bukan hanya sebagai agama yang mengatur moral kehidupan, tetapi juga mengandung visi yang jelas tentang pengembangan kreatifitas dan pembelajaran melalui iqro' dalam rangka menggerakkan jati diri kemanusiaan sebagai hamba Allah. Karena, idealisasi iqro' pada hakikatnya merupakan cambuk awal Islam dalam mendorong kemajuan pengetahuan dan pengembangan kreatifitas dan produktifitas manusia. Potensi-potensi yang dimiliki oleh alam, secara tegas telah didorong oleh al-Qur'an untuk dikuak agar menjadi pengetahuan baru, yang pada gilirannya akan dapat memunculkan predikat ideal dalam kehidupan sebagai manusia berilmu (berpendidikan). Sebab, hanya orang-orang yang berilmulah yang dapat menguak rahasia-rahasia Allah, terutama yang ditampakkan melalui keberagaman ciptaan di alam raya ini.

Upaya pembacaan semacam ini yang akan melahirkan konsepsi pengetahuan baru. Dalam asumsi ini, al-Qur'an mementingkan tiga macam pengetahuan untuk dipahami oleh umat manusia. Pertama, adalah pengetahuan mengenai alam yang telah dibuat Allah tunduk kepada manusia, atau sains-sains ilmiah. Kedua, adalah pengetahuan sejarah (dan geografi) : al-Qur'an senantiasa mendesak manusia untuk "berjalan di muka bumi" sehingga dapat menyaksikan apa yang telah terjadi kepada kebudayaan-kebudayaan di masa lampau dan mengapa kebudayaan-kebudayaan tersebut dapat bangkit dan runtuh. Ketiga, adalah pengetahuan mengenai dirinya sendiri karena " Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di dalam cakrawala (alam eksternal) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga mereka dapat memahami kebenaran – tidak cukupkah Tuhanmu sebagai saksi terhadap setiap sesuatu?(Qs. 41:53). Pengetahuan ini adalah pengetahuan "ilmiah" berdasarkan pengamatan dengan "mata dan telinga, tetapi pengetahuan ilmiah ini akhirnya harus sampai " ke hati" dan dapat menghidupkan persepsi batin manusia.15

Argumen tentang pencarian ilmu pengetahuan ini juga mendapat legalisasi kuat dari beberapa hadist nabi yang secara prinsipil menjadi isyarat teologis tentang komitmen pengembangan keilmuan dalam Islam, "tuntutlah ilmu sampai ke negeri China"16, "mencari ilmu merupakan kewajiban bagi muslim, baik yang laki-laki maupun perempuan"17, “mencari ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat"18 dan "telah aku tinggalkan kepadamu dua hal, jika engkau tetap berpegang teguh padanya engkau tidak akan sesat, ialah kitabullah (Qur'an) dan sunnahku (hadist)”. Hadist yang terakhir inilah yang dalam banyak asumsi telah diyakini sebagai landasan riil tentang pendidikan Islam. Dengan kata lain, esensi pendidikan Islam ialah mengacu pada pemaknaan yang maksimal terhadap al-Qur'an dan hadist.19

Dalam konteks ini pula, posisi ilmu dalam Islam menempati pada tangga posisi yang cukup suprematif. Setidaknya proses peng-ilmuan pada Nabi Adam menjadi salah satu wujud pemicu dasarnya untuk semakin meneguhkan akan perhatian besar Islam dalam melihat ilmu pengetahuan. Firman Allah " Dan Dia mengajarkan kepada Adam akan norma-norma (benda-benda) seluruhnya",20 merupakan kerangka awal dalam proses pembelajaran dan pendidikan dalam sejarah kependidikan Islam.

Menurut Mohammad Assad, di ayat berikutnya, menunjukkan karena pengetahuan yang dimiliki tentang norma-norma ini, maka dalam segi-segi tertentu, manusia menjadi lebih tinggi derajatnya daripada malaikat. Nama-nama ini menurut Assad hanyalah pernyataan simbolis tentang kemampuan manusia dalam membuat definisi-definisi, yang menunjukkan betapa tingginya intelegensia manusia, yang melingkupinya menjadi khalifah Allah di jagad raya ini. Tetapi, agar manusia mampu menggunakan otaknya secara sistematis, ia harus melalui proses belajar. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda " Barang siapa yang pergi menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga" dan hadist lain beliau bersabda "keutamaan-keutamaan orang-orang berilmu di bawah keutamaan orang-orang yang (hanya) beribadat saja, ibarat cahaya bulan purnama di antara bintang-bintang.21

Komitmen teologis ini, telah menjadi inspirasi tersendiri dalam kesejarahan umat Islam dalam mengembangkan dan memajukan wacana keilmuan. Era renaissance yang pernah menjadi sejarah emas dan gemilang umat Islam merupakan wujud nyata dari pemahaman keilmuan yang menjadi komitmen kuat al-Qur'an. Konsepsi keilmuan dalam keberagamannya telah mengilhami tumbuhnya peradaban dan khazanah keilmuan Islam dalam mengembangkan peradaban dunia. Islam telah menjadi satu-satunya agama yang mampu memberikan rangsangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.22

Islam telah menjadi mercusuar peradaban melalui khazanah pemikiran yang dilahirkan. Bukan hanya di bidang fiqh, tasauf, filsafat, tetapi Islam juga telah mampu memberikan banyak konsep tentang ilmu pengetahuan modern serta teori-teori sains dan teknologi. Pengembangan ilmu pengetahuan masa itu telah menjadi sesuatu yang konkret dan betul-betul melahirkan kreatifitas yang luar biasa yang dilahirkan oleh orang-orang yang tercerahkan (ulama).23 Kenyataan ini, selain membuktikan bahwa Islam bukan hanya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi, juga menjadi lambang dan sumber kemajuan pengetahuan itu sendiri.

Dalam perkembangannya, konsepsi ilmu pengetahuan menjadi perdebatan yang cukup panjang dan sangat kreatif. 'Abid al-Jabiri, misalnya berhasil memformulasikan tiga sistem pengetahuan (epistimologis) yang berkembang dalam kebudayaan Islam, yaitu; bayani, irfani dan burhani. Dari ketiga sistem epistimologis tersebut, sistem bayani telah mendominasi dari dua sistem yang lain (irfani dan burhani) yang mengedepankan peran intuisi dan rasionalitas. Sebab, menurut Jabiri, Bayani merupakan sistem pengetahuan yang menjadi ciri khas Islam.24

Sistem burhani, yang didasarkan pada fakta –dalam kesimpulan Jabiri dipahami bersumber dari pemikiran Yunani (khususnya Aristoteles), akan tetapi, beliau tidak membatasi epistimologis ini hanya terhadap orang-orang yang mendasarkan analisisnya pada logika. Dengan demikian, konsep burhani yang dikembangkan oleh Islamolog Islam asal Maroko tersebut mempunyai jangkauan yang sangat luas dan mencakup rasionalitas Ibnu Ruysd, sikap kritisnya Ibnu Hazm, historisismenya Ibnu Khaldun serta teologi fundamentalnya al-Syatibi. Perbedaannya dengan bayani yang membangun pemahamnnya tentang dunia berdasarkan pemahamannya pada prinsip korespondensi dan keserupaan, maka sistem epistimologis burhani didasarkan atas hubungan sebab akibat antara berbagai elemen, dengan demikian terciptalah gagasan tentang kemungkinannya hukum (alam).25

Demikian pula, al-Ghazali filosof muslim terkemuka yang sempat terlibat polemik seputar filsafat dengan Ibnu Ruysd dengan kemunculan karya Tahafut al-Falasifah, juga memberikan sumbangan pemikiran tentang posisi ilmu pengetahuan. Jauh sebelum 'Al-Jabiri menemukan formulasi tiga sistem epistimologis, al-Ghazali telah berhasil memformulasi tentang keberadaan ilmu. Secara terperinci al-Ghazali menggunakan tiga pendekatan dalam memahami ilmu pngetahuan, yaitu epistimologis, ontologis dan aksiologis.26

Secara epistimologis al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua macam, pertama, syar'iyah (ilmu yang diperoleh dari para nabi dan ditunjukkkan oleh akal manusia kepadanya) yang meliputi ilmu usul (kitabullah, sunah Rasul, ijma' umat, sejarah awal Islam) ; ilmu furu' (ilmu fiqh, mukasyafah dan muamalah); ilmu muqaddimah (ilmu alat; bahasa dan tata bahasa); ilmu mutmainnah (ilmu yang berkenaan dengan al-Qur'an, baik qiroat maupun tafsir). Kedua, ilmu syar'iyah ghairu syar'iyah (ilmu aqliyah) adalah ilmu yang dihasilkan melalui akal, baik secara dloruri, yakni diperoleh dari insting akal tanpa melalui taklid atau indera. Dan Ketiga, iktisabi, yakni ilmu yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan berfikir.

Secara ontologis, al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua macam. Pertama, ilmu fardlu a'in, yang meliputi ilmu tauhid, ilmu syariat dan ilmu sirri. Kedua, ilmu fardlu kifayah, yaitu ilmu yang berkaitan dengan urusan keduniaan, yang memang harus diketahui oleh manusia. Dan ilmu yang fardlu kifayah ini juga dibagi menjadi dua macam, ada yang abadi, seperti al-Qur'an, sunah, ijma, atsar, filsafat Islam/ilmu kalam, akhlak, bahasa dan tata bahasa Arab, ilmu tafsir, qiroat, fiqh dan usul fiqih yang berkaitan dengan urusan keduniaan, yang memang harus diketahui oleh manusia ; dan ilmu yang berkembang, antara lain meliputi ilmu imajinatif (seni dan arsitektur Islam).

Kemudian secara aksiologis, al-Ghazali membaginya menjadi tiga macam jenis ilmu, yakni ilmu yang terpuji, tercela dan mubah. Dalam aspek aksiologis ini, ketercelaan yang diasumsikan oleh al-Ghazali ialah bukan karena ilmunya yang tercela, tetapi lebih karena faktor manusianya itu sendiri.27

Walaupun demikian, penjelasan tentang ilmu yang dirumuskan oleh al-Ghazali secara substansial tetap mengacu pada satu landasan riil demi kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Formulasi tiga epistimologis yang digagasnya merupakan potret kuat komitmen untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan dunia dan akherat (fiddun-ya hasanah wa fil akherati hasanah).

Sebab, ilmu adalah sarana (wasilah) untuk menggapai target dan capaian yang lebih substansial, yakni terwujudnya jati diri yang sempurna dalam rangka melakukan upaya pengabdian yang maksimal terhadap agama (Tuhan) dan terhadap umat. Pengembangan keilmuan yang muaranya mengacu pada pembentukan identitas spritual (yang dilambangkan dengan kekayaan spritual ; hablum minallah) sekaligus peneguhan insan sosial yang mampu mengintegrasikan spirit kejernihan perasaan sosial (yang dilambangkan dengan kemampuan berkomunikasi secara partisipatif ; hablum minannas) menjadi basis aktual bagi penguasaan keilmuan dan pendidikan Islam. Pendidikan dengan begitu, dapat menjembatani antara kebutuhan diri sebagai insan spritual dan sebagai insan sosial. Pemaknaan universal ini merupakan cita-cita besar yang menjadi komitmen diri seorang alim (berpendidikan).28

 

Reaktualisasi Pendidikan Islam sebagai Pembebas : Menguak Substansi

Cita-cita pendidikan yang paling mendasar ialah penyadaran dan pemberdayaaan. Dengan dua tujuan substantif tersebut pada gilirannya akan mengerucut pada satu capaian membentuk manusia seutuhnya. Mewujudkan manusia seutuhnya dalam rancang bangunnya tidak lepas dari proses panjang kependidikan. Pembentukan jati diri dan identitas kemanusiaan yang sebenarnya merupakan kiblat sentral dari paradigma pendidikan. Dengan demikian posisi pendidikan menjadi muara pembebasan yang sejati dalam konteks kemanusiaan. Spirit penyadaran yang melandasi gerak laju pendidikan adalah katagori luhur dari nilai-nilai agresifitas pendidikan. Maka pendidikan harus berkonsekswensi logis bagaimana betul-betul menjadi pembebasan dan pemanusiaan manusia. Mengarahkan manusia ke arah pencarian jati diri yang sebenarnya, sehingga kompas kesempurnaan sebagai manusia dapat ditemukan.

Sebab, hakikat pendidikan Islam memang dilandasi oleh komitmen besar bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai potensi moral dan intelektual yang tersembunyi harus dipupuk dan ditampakkan sebagai wujud kekayaan diri yang kreatif.

Dari sini, ungkapan Mahmud Muhammad Thaha menemukan relevansi kebenarannya bahwa tujuan pendidikan adalah membebaskan bawaan-bawaan alamiah ; akal dan hati, dari belenggu iilusi dan kebatilan. Melalui hati yang suci dari rasa takut dan pikiran yang jernih dari angan-angan (ilusi-ilusi), inilah kehidupan intelektual dan emosi yang merupakan tujuan setiap makhluk hidup, akan terwujud.29

Dengan kata lain, hakikat pendidikan secara faktual diilhami untuk menciptakan ketercerahan bagi kemanusiaan. Maka pemantapan kemanusiaan dan pemanusiaan manusia hanya bisa dilakukan dengan pengertian yang sesungguhnya, jika seseorang memang telah benar-benar menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitar.30 Kesadaran yang demikian, pada gilirannya yang akan memunculkan kesadaran kritis yang kuat, yang akan merangsang terhadap kreatifitas moral dan intelektual manusia. Keduanya merupakan esensi kemanusiaan yang tidak dapat dinafikan oleh alasan dan logika apapun.

Pembebasan manusia yang menjadi acuan pendidikan ialah mengacu pada pembebasan manusia dari belenggu-belenggu yang memenjarakan nilai-nilai genuine kemanusiaan. Tanpa dilandasi oleh keinginan yang semacam itu, maka pendidikan hanya akan menjadi proses mandul yang tidak jelas hasil kerja kreatifitasnya. Maka paradigma pendidikan Islam, secara substansial harus dikembalikan pada proses awal kedatangannya bahwa kedatangan Islam ialah untuk melakukan tugas pembebasan manusia dari cengkaraman kebodohan dan ketidak sadaran akan eksistensi universal yang harus dikembangkan. Pendidikan dengan demikian, merupakan simbolisasi pembebasan yang ingin menggerakkan roda kesadaran umat untuk menjadi umat yang sebenarnya. Umat yang dinamis dan mampu beradaptasi dengan gerak perubahan, dimana dialektika berfikir diwujudkan secara konkret.

Dengan kebebasan yang diberikan, maka potensi dan kreasi bisa berkembang secara dinamis. Inilah yang menurut hemat penulis, menjadi titik pijak kemajuan Islam di abad yang lalu. Kesadaran tentang diri sebagai makhluk yang potensial dan produktif telah menghasilkan khazanah keilmuan yang luar biasa. Islam telah mampu menerjemahkan makna penting ke yu'la dan ya'lu-annya secara taktis dan agresif.

 

Pendidikan Islam dan Kesadaran Kritis : Melepas Hegemoni Ortodoksi

Dengan demikian jelas, urgensitas kependidikan secara substansial merupakan ruh esensial yang menjadi kunci utama pembentukan manusia seutuhnya. Manusia yang mampu menjadi dirinya sendiri, yang tidak terhegemoni oleh paradigma di luar dirinya. Pendidikan Islam mengajarkan tentang hakikat kemanusiaan ; bahwa manusia adalah mahkluk yang bebas yang berhak untuk menentukan persepsi dan pemikiran dirinya. Kebebasan sebagai manusia tetap mengacu pada satu kesadaran yang kritis.31

Sebab, kritis merupakan cermin utuh dari hak dan tanggung jawab manusia. Sehingga pendidikan Islam akan betul-betul mempunyai titik relevansi dengan substansi revolusioner kedatangan Islam itu sendiri. Proses pembelajaran tetap berada dalam satu semangat membebaskan umat manusia dari belenggu ketidak sadaran diri, baik moral maupun intelektual, sehingga akan dapat menjadi penopang gerak pembebasan yang memang menjadi cita-cita utama Islam.

Pendidikan Islam harus diarahkan bagaimana menerjemahkan kesadaran dan keutuhan sebagai bagian integral di dalamya. Sehingga proses pembelajaran tidak hanya bersifat semu ; menjadi proses yang absurd dan kering nilai. Akibatnya belajar hanya bersifat seremonial, sementara nilai dan makna tidak pernah menjadi kekuatan di dalam dirinya. Disinilah menurut hemat penulis, pembelajaran harus dikonkretkan dengan tetap mengacu pada upaya transformasi nilai dan pemaknaan yang sebenarnya32 dimana kritisisme tetap menjadi acuan strategis dan paradigma dasar sebuah pembelajaran. Karena diakui ataupun tidak, proses kependidikan agama yang dijalankan selama ini masih tetap berkutat pada paradigma seremonialistik yang sama sekali tidak mengedepankan satu semangat bagaimana betul-betul membuat satu nuansa ketercerdasan terhadap apa yang dipelajari. Pendidikan tentunya bukan hanya diarahkan bagaimana menghabiskan halaman demi halaman buku "wajib" yang menjadi pegangan mengajar ketimbang mengembangkan anak didik menjadi lebih dinamis.33

Dengan demikian, pendidikan agama telah terjebak dalam kubangan paradigma legal formalistik dan hanya bergerak dalam pembelajaran ajaran agama yang ilutif ; hanya dibatasi oleh tradisi berfikir keterbatasan ; memandang ajaran agama hanya dalam kerangka apa adanya dan given, tanpa diajarkan bagaimana memetakan nilai-nilai ajaran agama secara utuh dan kritis. Ajaran Islam kemudian tidak akan hanya diproses dengan metode pengajaran formulatif yang abstrak yang menyisakan banyak tanda tanya, tetapi secara konkret mampu memberikan rangsangan kritis yang kuat. Artinya, pendidikan Islam tidak hanya bagaimana diteorisasikan, dipelajari, dikontekstualisasikan, tetapi harus diteguhkan dalam satu komitmen kuat bagaimana dapat dihayati secara mendalam. Ajaran Islam (fiqh) pada konteks ini, tidak hanya digerakkan dalam satu titik yang tidak dinamis, tetapi secara utuh mampu dijadikan sebagai sarana untuk terus merangsang kritisisme peserta didik. Dengan kata lain, pemaknaan fiqh tidak lagi termaknai secara kaku, sehingga tidak akan selalu terbuai dalam bingkai ajaran yang fiqhiyah oriented ; terbatas bagaimana berwudlu', solat, zakat, puasa dan haji dilaksanakan dengan hanya secara "apa adanya", berpatokan pada kekuatan mekanisme sah-tidaknya, tidak dikembangkan ke dalam substansi pemahaman esensial dari praktek dan rukunnya di hafal, tidak dikembangkan ke dalam pembelajaran ke arah pemahaman yang substansif ; bagaimana ibadah tersebut mampu diterjemahkan secara utuh dalam praktek kehidupan sosial yang agresif. Pemaknaan ajaran akan dapat menemukan kerangka ideal, selain sebagai proses penataan semangat hablum minallah juga menjadi titik pijak pembangunan hablum minannas yang sempurna. Sehingga ratio legis dari aktifitas ibadah mahdloh tersebut dapat dijadikan sebagai media untuk melakukan upaya transformasi yang ma'ruf.

Dan peserta didik yang dalam tataran idealnya, dipersiapkan sebagai agen perubahan yang akan membawa dan memperjuangkan misi kerasulan Muhammad untuk menegakkan kedaulatan umat manusia baik secara moral, sosial maupun intelektual harus dibentuk melalui pengajaran dan pembelajaran yang kritis-transformatif, sebab jelas tugas besar yang dibawa muhammad, sebenarnya bukan hanya bagaimana mengislamkan umat – dalam artian ia sebagai agama-, tetapi juga bagaimana membebaskan kehidupan umat dalam segala cakupannya. Komitmen ini menjadi garis dominan dari semangat pendidikan, sehingga akan dapat melahirkan generasi jitu yang sanggup mengemban amanat besar membawa Islam tetap sebagai agama yang rahmatan lil alamin dan sesuai dengan identitas kedatangannya sebagai agama yang mampu menghadirkan perubahan.

Pola dan arah pengajaran Islam harus dapat dan tetap mengacu pada pemaknaan yang demikian, sehingga akan dapat membuka ruang lebih lebar dalam proses pencerdasan dan pengembangan keilmuan yang bervisi transformatif. Proses pendidikan yang dilakukan harus mempunyai persentuhan yang jelas dengan realitas sosial yang ada. Sehingga kemandulan dan kejahiliyaan paradigma berfikir dalam rangka penerjemahan nilai-nilai dasar ajaran tidak akan mungkin terjadi. Asumsi pendidikan Islam harus tetap berada dalam garis liya tafaqqohu fiddin li yundziru qoumahum pada akhirnya akan dapat digerakkan dalam pemahaman yang apa adanya. Akibatnya, posisi pengajaran tidak ubahnya menjadi bagian fenomenal dari proses doktrinasi ajaran : bagaimana memberikan pemahaman dan melakukan pembelajaran di bawah keyakinan klasik-statis "sami'na wa atho'na (taken for granted)34 yang tidak bisa diganggu gugat. Tradisi pemahaman ajaran (agama) yang apa adanya ; fiqhiyah, tasauf, teologi warisan masa lalu yang given merupakan salah satu potret dari proses kependidikan Islam yang tengah terjadi. Akibatnya tradisi berfikir kritis acapkali tidak menjadi target ideal dari proses kependidikan dan tetap terbuai dalam jebakan hegemoni masa lalu yang sangat mengikat. Praktis, gerakan pemikiran keislaman yang merupakan substansi dari pendidikan tidak menghasilkan out put yang jelas.35

Pemaknaan pembelajaran semacam ini merupakan simbolisasi dari bangunan hegemonik yang masih menguat dan mencengkeram paradigma kependidikan Islam, yang pada gilirannya hanya melegitimasi akan asumsi bahwa pendidikan Islam tidak mampu dibangun di atas semangat dialektikal yang salihun fi kulli zamanain wa makanin36 dengan satu visi menerjemahkan hakikat kemanusiaan di bawah bendera kesadaran sebagai instrumen fundamental dalam pembelajaran. Pendidikan Islam dengan demikian, tetap mengacu pada makna transformatif dan dialektif serta berdedikasi advokatif, bukan hanya sekedar pemaknaan yang formulatif, tetapi mampu menjadi medium strategis dalam rangka mewujudkan kebutuhan universal.

Asumsi al-ilmu bila amalin kas syajari bila tsamarin merupakan landasan riil tentang dinamisasi dan transformasi nilai-nilai keilmuan yang harus diwujudkan secara nyata, agar pendidikan tidak hanya bersifat kaku dan beku. Maka komitmen dan kesadaran untuk ber-amalin (saya maknai : transformasi) merupakan landasan kuat dalam pendidikan Islam. Konsepsi amalin37 tersebut tentunya tetap mengacu pada makna transformatif yang genuine dengan tetap meletakkan prinsip-orinsip dasar kemanusiaan sebagai sesuatu yang inheren di dalamnya. Artinya, pendidikan Islam yang secara faktual memang berdasarkan secara utuh pada dua kekuataan dasar Islam, yakni al-Qur'an dan al-Hadist merupakan simbolisasi dari Islam. Pendidikan Islam pada gilirannya akan menempatkan manusia sebagai subyek untuk membebaskan kemanusiaan diri dan kemanusiaan secara umum. Sehingga pendidikan Islam akan betul-betul menjadi pembebas seperti yang memang menjadi inti kedatangan Islam. Wallahu a'lam bis Shawab.

 

1 Menurut Noercholis Majid, membicarakan pendidikan melibatkan banyak hal yang harus direnungkan. Sebab pendidikan meliputi keseluruhan tingkah laku manusia yang dilakukan demi memperoleh kesinambungan , pertahanan dan pengingkatan hidup. Dalam bahasa agama, demi memperoleh ridla atau perkenan Allah. Lihat Pengantarnya " Pendidikan, Langkah Strategis Mempersiapkan SDM Berkualitas" dalam Indra Djati, Ph.D : Lihat Indra Djati, Ph.D , Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Pendidikan, (Jakarta: Paramadina,2001) hlm.xi. Demikian pula, Zakiah Darajat, seperti dikutip Prof. Dr. H. Jalaluddin menulis bahwa pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup. Lihat. Prof. Dr. H. Jalaluddin , Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 65. Bahkan bukan hanya itu saja, pendidikan dalam sepanjang sejarah acapkali bukan hanya sebagai upaya penyadaran murni terhadap masyarakat, tetapi, pendidikan juga dijadikan sebagai alat untuk kepentingan kekuasaan. Pendidikn yang dibangun demi dan hanya untuk menciptakan kelanggengan kekuasaan. Kerajaan-kerajaan Tarumanagara, Sriwijaya, dan Majapahit untuk menjaga kelanggengan dan keagungan negara theokrasi memompakan pendidikan-pendidikan akhlak dan keagamaan di dalamnya. Lihat. Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan,(Yogjakarta: INSIST PRESS,CINDELARAS-PUSTAKA PELAJAR, 2001), hlm. 15

2 Dr. Suroso, In Memoriam Guru Membangkitkan Ruh-Ruh Pencerdasan, (Yogjakarta, Jendela, 2002), hlm.130

3 Mulli Trisna " Sekolah Yang Menegara : Jejak Politik Pendidikan di Indonesia" dalam Jurnal Gerbang, vol. 06, No. 03, Pebruari-Maret 2002, hlm. 46.

4 Kata Sambutan H. Ahmad Ludjito dalam Drs. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998)hlm. V

5 Pembicaraan tentang konsep dan bagaimana seharusnya sebuah sekolah dan pendidikan pada umumnya di atas bertujuan pada bagaimana kehidupan manusian ini harus ditata, sesuai dengan nilai-nilai kewajaran dan keadaban (civility). Semua orang pasti mempunyai harapan dan cita-cita bagaimana sebuah kehidupan yang baik itu. Karena itu, pendidikan pada gilirannya berperan mempersiapkan setiap orang untuk selalu berperilaku penuh keadaban (civility). Keadaban inilah yang secara praktis sangat dibutuhkan dalam setiap gerak dan perilaku. Lihat Indra Djati, Ph.D, Manuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Pendidikan, (Jakarta: Paramadina,2001)hlm. 7

6 Secara sederhana pembelajaran memang menjadikan kesadaran sebagai bagian besar yang harus dicapai di dalamnya. Tanpa target untuk mencapai kesadaran tersebut menurut hemat penulis pembelajaran tidak bermakna lagi. Oleh karenanya, kesadaran itulah yang menjadi substansi dari proses pendidikan yang dilakukan. Dalam hal ini, Paulo Freire menempatkan kesadaran sebagai bangunan kuat di dalam pendidikan. Ia kemudian menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga macam kesadaran, antara lain kesadaran magis (magical conciousness) ialah kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinannya dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural supranatural) sebagai penyebab ketidakberdayaan ; kesadaran naif (naival counsiousness) ialah kesadaran yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat ; kesadaran kritis (critical counsiousness) ialah kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari "blaming the victimes" dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan akibatnya pada kesadaran masyarakat.

7 Leo Rouch " Syahadat Pengetahuan Plato" dalam Paulo Freire, dkk, Menggugat Pendidikan: Fundamentalisme, Konservatif, Liberal, Anarkhis(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm 85

8 op.cit. hlm. V

9 Abdul Munir Mulkhan "Humanisasi Pendidikan Islam" dalam Jurnal Taswirul Afkar, edisi No. 11. Tahun 2001. hlm 17

10 Civility atau suatu kondisi masyarakat yang beradab merupakan produk dari penguatan civil society. Istilah civil society pertama kali digunakan oleh filsuf Scotlandia, Adam Ferguson, untuk menunjuk masyarakat kota yang sudah tersentuh peradaban maju, yaitu suatu masyarakat yang beradab yang membedakan dirinya dengan masyarakat pedalaman yang belum tersentuh kemajuan. Lihat. Heru Nugroho " Terpaan Demokrasi Global dan Pasang Surut Demokratisasi di Indonesia : Sebuah Kata Pengantar untuk John Markoff" dalam John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. XiV

11 Dalam hal ini, gerak laju pendidikan sesuai dengan keinginan ideal UU yang kita miliki sasaran utamanya tiada lain untuk membangkitkan gairah ketercerdasan dan pembentukan masyarakat yang berkualitas. Manusia seutuhnya pada prinsipnya mengidealkan kenyataan yang demikian. Oleh karenanya, perwujudan masyarakat berkualitas pada gilirannya menjadi tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik mnejadi subyek yang makin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada bidangnya masing-masing. Lihat Dr. E. Mulyasa, M.Pd., Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik, dan Implimentasi, (Bandung, PT. Rosda Karya,2003), hlm.3

12 Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Qur'an (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), hlm.1

13 Dr. M. Qurays Shihab, Membumikan al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992 (hlm. 172

14 Ibid. hlm. 172

15 Fazlurr Rahman . op.cit. hlm. 51

16 Ut lubu al-ilma walau bi as-shin

17 Tholabu al-ilmi faridlotun ala kulli muslimin wa muslimatin

18 Qurays Shihab memandang hadist ini sebagai konsepsi tentang keharusan menuntut ilmu dan memperoleh pendidikan sepanjang hayat. Ungkapan tersebut, menurut Shihab sekaligus mennujukkan bahwa ide yang terdapat dalam khazanah pemikiran Islam ini mendahului " life long education " yang dipopulerkan oleh Paul Lengrand melalui bukunya An Introduction to Lifing Education " Lihat Shihab, Membumikan Al-Qur'an, hlm. 178

19 Muhaimin Syamsuddin " Ilmu Tiban " di Madsarah : Kritik atas Sakralisasi " Pendidikan Islami", Jurnal Gerbang, hlm. 37

20 Qs. Al-Baqoroh [2]:31

21 Mohammad Assad, Umat Islam di Simpang Jalan ( Jakarta: Penerbit Fikahati Aneska, 1992). Hlm. 86-87

22 Ibid. hlm. 88

23 Nabi menyebut para ulama (al-ulama', "orang-orang yang berilmu", jadi kaum cendiakawanjuga) sebagai pewaris Nabi, maka salah satu pengertiannya ialah , sepanjang makna firman tadi (tafaqquh fi al-din, penulis)bahwa mereka itu mewarisi dan meneruskan tugas para Nabi sebagai pengajar, penegak dan penjaga moralitas masyarakat. Lihat Dr. Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm 18. Sementara disisi yang lain posisi dan peran ulama dalam sejarah kemajuan Islam telah menjadi memberikan andil yang luar biasa. Al-Jabiri mendeskripsikan bahwa kemajuan yang terjadi pada masa itu, misalnya dalam bidang matematika yang dikembangkan oleh al-Khawarizmi, al-Karkhi, dan Samaw'al al-Maqribi ; dalam bidang astronomi ada Battani, ; dalam bidang kedokteran ada al-Razy, Ibnu Sina. Model ini telah menjadi pemicu evolusi keilmuan dalam sepanjang sejarah Islam. Lihat bukunya Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam (Yogjakarta: Fajar Pustaka, 2003),hlm. 57

24 Lihat Sibawaihi : Eskatologis al-Ghazali dan Fazlurrahman Studi Komparatif Epistimologi Klasik-Kontemporer, (Yogjakarta: Islamika, 2004)hlm. 166

25 Pengantar Walid Harmaneh dalam Muhammad 'Abid al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. XXii - XXiV

26 Lihat Drs. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogjakarta, Pustaka pelajar, 1998) hlm. 47-49

27 ibid.

28 Bahkan kemunculan Islam menurut al-Qur'an terbagi ke dalam dua fase : fase akidah dan fase hakikat, atau katakanlah fase ilmu. Masing-masing fase dari dua fase tersebut berada dalam tiga tingkatan. Fase akidah ada tingkatan, yaitu Islam, iman, dan ihsan. Sementara fase ilmu juga memiliki tiga tingkatan, yaitu ilmu al-yaqin, ilmu 'ain al-yaqin, dan ilmu haqq al-yaqin. Setelah itu, muncul tingkatan ketujuh dari tujuh tingkatan tangga tersebut, yaitu tingkatan Islam. Pada tingkatan inilah lingkaran berhenti. Tingkatan akhir mirip dengan tingkatan pertama, namun tidak sama, sebab tingkatan pertama berupa Islam, dan terakhir juga Islam, tetapi antara Islam yang pertama dengan Islam yang terakhir dangat jauh berbeda. Lihat. Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari'ah (Yogjakarta : LKiS, 2003). hlm. 23

29 Lihat bukunya Arus Balik Syariah', terjemah. Khoiron Nahdiyin (Yogjakarta : LKiS, 2003) hlm. 204

30 Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (Yogjakarta : Pustaka Pelajar-Read, 2002) hlm. XVii

31 Seperti yang ditegaskan Munir Mulkhan bahwa pendidikan semestinya bisa menumbuhkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif sehingga memungkinkan para murid sebagai peserta untuk mengembangkan peran dan menempatkan diri di dalam dunia sosial yang terus dan selalu berubah. Lihat Kata Pengantar Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam Stevan M. Chan, Pendidikan Liberal Berbasis Sekolah, (Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm. xxvi

32Amin Abdullah menyoroti kegiatan pendidikan agama yang selama ini telah dilangsungkan, antara lain sebagai berikut (1) pendidikan agama lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis kegamaan yang bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis; (2) pendidikan agam kurang concern terhadap persoalan bagaimana menubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi "makna" dan "nilai" yang perlu diinternalisasikan dalam diri siswa lewat berbagai cara, media, dan forum ;(3) isu kenakalan remaja, perkelahian diantara para pelajar, tindak kekerasan, premanisme, white color crime, konsumsi minuman keras dan sebagainya, walaupun tidak secara langsung ada keterkaitan dengan pola metodologi pendidikan agama yang selama ini berjalan secara konvensional-tradisional ;(4)metodologi pendidikan agama tidak kunjung berubah antara pra dan post era modernitas ; (50 pendidikan agama lebih menitikberatkan pada aspek korespondensi-tekstual; (6) sistem evaluasi, bentuk-bentuk soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama pada kognitif, dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan "nilai" dan "makna" spritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Lihat. Drs. Muhaimin, M.A. Et. Al. : Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agam Islam di Sekolah (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,2001), hlm.90

33 Lihat Paulus Mujiran, Pernik-Pernik Pendidikan Manisfestasi dalam Keluarga, Sekolah dan Penyadaram Gender,(Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 127

34 Dalam hal ini Muhammad Syahrur penulis buku al-Kitab wa al-Qur'an: Qiraah Mu'assirah menulis Umat Islam sekarang terpenjara dalam kerangkeng kebenaran yang diterima begitu saja (musallamah/taken for granted) yang sebenarnya harus dikaji ulang. Kebenaran-kebenaran yang terbalik, sebagaimana sebuah lukisan yang digambar dari pantulan kaca cermin. Semuanya terkesan benar padahal hakikatnya adalah salah. Lihat Achmad Syarqawi Ismail, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur (Yogjakarta: eLSAQ pres, 2003) hlm.45.

35 Gara-gara kesalahan dalam memaknai makna penting pendidikan yang krtis-transformatif ini, pemikiran keislaman tetap berada dalam jurang ' dikuasai masa lalu, dan bukan masa sekarang menguasai masa lalu" hal ini mungkin yang menginspirasikan Nars Hamid Abu Zaid menyebut "selama berabad-abad lamanya tidak pernah muncul pemikiran Islam yang sama sekali baru, kecuali sekedar pengulangan yang bersifat tautologis, dimana umat Islam - dan tradisi hermeneutika al-Qur'an – tinggal mewarisi trilogi ortodoksi : paradigma al-Qur'annya Al-Syafi'ie, otoritas Al-Asy'ari, dan eklistisime al-Ghazali. Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir Al-Qur'an Menurut Hasan Hanafi (Jakarta Selatan: Penerbit TERAJU, 2002) hlm. 56

Inilah model paradigma given yang ortodoks, meletakkan kebenaran hanya pada satu ruang waktu dan satu generasi. Ajaran Islam khususnya lebih dibaca sebagai kekuatan yang telah final di bawah ijtihad masa lalu yang dihasilkan oleh situasi dan kondisi sosial, kultural dan intelektual tertentu. Walaupun memang, harus diakui apa yang dihasilkan oleh masa lalu memang merupakan khazanah yang harus dihargai. Pemikiran fiqh, tasauf, teologi yang digerakkan oleh kreatifitas intelektual masa lalu merupakan titik pijak dan simbol kreatifitas yang bernilai luar biasa yang menuntut satu kesadaran kritis. Ia merupakan sumbangsih peradaban yang telah diwariskan. Pendidikan Islam yang terjadi sama sekali tidak memaknai hakikat khazanah yang ada, sehingga asumsi Nasr tersebut menjadi referensi memprihatinkan bagi dinamisasi pemikiran Islam dan Islam itu sendiri. Model pewarisan ortodoksi yang telah diterima sebagai bagian integral dalam proses pendidikan Islam sama sekali salah arah dan penting untuk dibaca. Pewarisan ortodoksi yang tidak menyamangati proses awal warisan itu, bagaimana ia lahir dan dilahirkan. Inilah yang saya kira mesti dibaca dan dijadikan inspirasi untuk terus mengembangkan semangat intelektual yang telah dibangun pada abad pertengahan, bukan malah menghamba secara kaku terhadap pemikiran yang dihasilkan. Sebab, kemajuan masa lalu, secara substansial bukan untuk dikenang dan diberhalakan, tetapi untuk dijadikan sebagai batu loncatan untuk lebih berpacu. Oleh karenanya, tradisi kritis yang bagaimanapun telah melandasi lahirnya banyak keilmuan harus ditempatkan pada posisi yang dominan. Karena tanpa kritik pembaharuan tidak akan tercipta. Kritik merupakan proses bagi terciptanya dinamisasi dan fleksibelisasi untuk terus menemukan bentuk yang sebenarnya sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan bersama. Dengan demikian, kesadaran kritis terhadap khazanah harus menjadi bagian integral dalam pendidikan Islam.

Walaupun disisi lain, seperti yang ditulis oleh Sibawaihi , memang telah ada indoktrinisasi terhadap khazanah pemikiran klasik ; Arkoun sendiri meyakini bahwa sampai saat ini, telah terjadi pensakralan pemikiran keagamaan (tagdis al-afkar ad-diniyah) dalam Islam, sebab wacana al-Qur'an yang semula bersifat terbuka, polyinters pretable, dan elastis, kini berubah menjadi bersifat tertutup, final, a historis, dan kaku ; Rahman mengklaim bahwa umat Islam cenderung mengabaikan pola-pola pemkiran kritis karena kenyataannya telah terjadi kegersangan pemikiran dalam hukum dan teologi Islam, serta ketidaksesuaian berbagai praktik keagamaan semisal sufisme… Lihat Sibawaihi, Eskatologis al-Ghazali dan Fazlurrahman: Studi Komparatif Epistimologi Klasik-Kontemporer, (Yogjakarta: Islamika, 2004), hlm. 5

36 Dalam bahasa Amin Abdullah pendidikan Islam terkesan lebih banyak memfokuskan pada isi atau muatan materi yang harus ditransfer kepada orang lain, dan bukannya pada proses dan metodologi bagaimana sesungguhnya pendidikan Islam dilaksanakan dalam situasi dan zaman yang terus berkembang dan berubah, merupakan persoalan penting yang perlu dikaji. Lihat tulisannya "Problem Epistimologis-Metodologis Pendidikan Islam" dalam Abdul Munir Mulkhan, dkk, Rekonstruksi Penidikan dan Tradisi Pesantren Religiusitas Iptek (Yogjakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga-Pustaka Pe lajar, 1998), hlm 50

37 Konsep amalin disini setidaknya mengacu pada idealisme kepemilikan ilmu bagaimana seharusnya ia digunakan dan ditransformasi ke dalam jangkauan kemaslahan umat. Ilmu (pendidikan Islam) dalam hal ini-meminjam asumsi Ali Syari'ati - jangan sampai kehilangan sentuhan dengan pikiran-pikiran manusia. Tidak mampu melakukan kritik atas situasi masa kini, ilmu tidak mampu lagi membantu memecahkan problem-problem kehidupan. Ia tidak sanggup lagi membimbing masyarakat ke arah tujuan yang seharusnya dituju dengan menjelaskan unsur-unsur penting, mengikis habis kebodohan dalam masyarakat serta membantu manusia menyadari sebab-sebab kemalangan masa lalu dan masa kini mereka. Ia tidak lagi memiliki kepribadian atas nasib masyarakat dan kemampuannya menentukan nasibnya sendiri serta mencapai ideal-idealnya. Menurutnya, persis seperti orang-orang saleh dan penuh pengabdian yang tersingkirkan oleh kesalehan mereka – dengan demikian menjadikan mereka mangsa empuk bagi para penjarah, orang-orang lancung dan pendusta – para pendukung "obyektifitas", atas nama "objektifitas" juga, memisahkan ilmu dari komitmen dan tanggung jawabnya untuk membangkitkan kesadaran, pencerahan, memberikan bimbingan dan bantuan pada manusia sehingga ilmu bisa mencapai tujuan dan targetnya secara lebih baik. Lihat Ali Syari'ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung, Mizan, 1992), hlm. 31. Dengan demikian, pendidikan akan dapat menjadi bentuk dari upaya pembebasan yang sebenarnya, yang menempatkan kemaslahan rakyat sebagai tujuan finalnya. Setidaknya semangat yang dimiliki oleh Bapak Pendidikan pembebasan Paulo Freire dapat menjadi landasan dari ini semua. Apa yang dilakukan oleh Freire misalnya untuk menempatkan pendidikan pada jalur yang sebenarnya sebagai medium pembebasan. Apa yang dilakukan oleh Freire dengan konsep pendidikan pembebasannya merupakan langkah strategis dalam pengembalian hakikat dan target luhur dari pendidikan sehingga pendidikan akan dapat bermakna amalin itu sendiri. Oleh karenanya, M. Escobar, Dkk menilai konsep pendidikan Freire sebagai sumbangan mendasar Freire terhadap pendidikan universal Amerika Latin – kita menemukan wawasan dan perspektif optimistis yang membuat pendidikan bisa dipulihkan sebagai isntrumen pembebasan, sarana untuk mempersoalkan bentuk-bentuk kekuasaan yang mapan. Lihat M. Escobar Dkk, (Edit), Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah Kapitalisme yang Licik, terjemah. Mundi Rahayu, (Yogjakarta, LKiS, 1998), hlm. 29. lihat juga Denis Collins, Paulo Freire Kehidupan, Karya & Pemkirannya, terj. Henry Heyneardhi-Anastasia P, (Yogjakarta : Komunitas Apiru-Pustaka Pelajar, 2002)

 

 

 Back To Daftar Isi

KOLOM

Pak Sanusi, Di Mana Dulu Engkau Sekolah ?

Oleh : Zeinul Ubbadi*

 

Masih teringiang dengan jelas kata-kata Pak Sahlan yang dulu mengajar mata pelajaran akhlak di kelas dua Madarasah Ibtidaiyah Nurul Huda tempat saya mula-mula menuntut ilmu. Dari bibirnya yang senantiasa dihiasi senyum itu beliau mengatakan bahwa belajar setinggi apa pun tidak akan ada gunanya jika sopan santun dan prilaku kita tidak baik. Bahkan semakin seseorang dianugerahi ilmu, jika tidak disertai bertambah baiknya karendahan hati dan ahlak, ia justru akan semakin menjadi orang yang tercela. “Manizdada ilman walam yazdad hudan, lam yazdad minallah illa Bu’dan, Barang siapa yang bertambah ilmunya tapi tidak disertai bertambahnya pentunjuk untukanya, maka ia hanya akan semakin jauh dari Allah” ungkap Pak Sahlan mengokohkan kata-katanya dengan Hadist.

Belakangan saya baru benar-benar merasa bahwa kata-kata guru MI saya itu sama sekali bukan ocehan atau omong kosong yang diucapkan hanya untuk menanti bel istirahat berdentang.

Coba saja liat kondisi negeri kita saat ini, para cerdik pandai banyak sekali yang prilakunya justru jauh lebih bejat dari prilaku rakyat kecil yang tidak pernah duduk di bangku sekolah. Sebut saja korupsi di KPU, Nazaruddin Syamsudin yang dulu disebut-sebut sebagai tokoh yang pendiam, lugu dan bersahaja itu baru mau mengaku (bahwa uang yang belakangan bermasalah itu adalah benar-benar uang dari rekanan KPU) setelah bukti-bukti kuat dapat dikumpulkan oleh KPK.

Atau bahkan kasus yang baru-baru ini membuat semua orang tercenung, kasus korupsi Dana Abadi Umat di lingkungan Depatemen Agama dan kasus sogok miliyaran rupiah di Mahkamah Agung yang melibatkan sejumlah nama yang justru bertindak sebagai hakim ketua. Bisa dibayangkan, jika dua departemen ini saja sudah terkontaminasi mental-mental bejat, bagaimana parahnya kondisi lembaga-lembaga tinggi negara lainnya yang sama sekali tidak tahu tentang urusan “sorga-neraka” (seperti Departemen Agama) dan tak cukup paham tentang kebijaksanaan (seperti halnya para praktisi hukum).

Jika mau diakui, ini adalah pukulan telak bagi praktisi dan institusi pendidikan kita. Sebab mereka yang ada di KPU, DEPAG dan MA tidaklah lahir dari ruang hampa. Mereka adalah produk pendidikan kita yang konon didirikan untuk meciptakan genarasi manusiawi. Tapi kenyataannya out put yang dilahirkan justru menjadi pecundang, pembohong dan bahkan maling.

***

Sekarang cobalah berpaling pada orang-orang yang tidak beruntung mendapatkan pendidikan yang layak di bangku sekolah. Sebut saja Maniem, perempuan tua dan miskin yang beberapa waktu lalu meninggal dunia karena berdesak-desakan antre untuk menerima dana Bantuan Langsung Tunai. Ketika menerima kartu dana kompensasi yang ada di benaknya hanyalah beras dan makanan bergizi yang sudah lama tidak ia cicipi. Ia tidak pernah tau bahwa orang-orang sedang ngerasani kebijakan pemerintah ini sebagai sebuah upaya menjadikan masyarakat kita masyarakat yang tidak kreatif, yang bisanya hanya meminta, menerima dan mempunyai rasa ketergantungan yang amat sangat. “ini adalah upaya untuk membuat kita tidak kreatif dan tidak lagi kritis” ungkap seorang mahasiswa dalam sebuah seminar. “Maniem adalah perempuan miskin tidak berpendidikan yang menjadi salah satu korban dari keangkuhan orang-orang berpendidikan seperti SBY dan MJK” lanjut seseorang di sudut ruangan tempat seminar itu diadakan.

Kenyataan lain tentang orang-orang tidak berpendidikan adalah Pak Sanusi, salah satu penerima dana Bantuan Langsung Tunai yang mengembalikan uangnya gara-gara ia merasa bahwa ada banyak tetangganya yang lebih berhak untuk menerima bantuan tersebut dari pada dirinya. Beliau mengaku bahwa Beliau masih bisa makan dari cucuran keringat sendiri, beliau masih bisa berkerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sekali pun hanya dengan penghasilan paspasan dari profesinya sebagai tukang becak.

Pak Sanusi seakan-akan ingin mengatakan bahwa bantuan yang diberikan untuknya adalah pelecehan yang “sangat“ terhadap kemampuan dan kemauan Beliau untuk bekerja keras dan mensyukuri hidup apa adanya. (Pak Sanusii… Pak Sanausi, di manaaa dulu engkau sekolah ?)

***

By the way , ada benarnya juga apa yang dikatakan Emha Ainunnajib, bahwa "Pintar itu adalah kelicikan yang menyamar, sementara Bodoh adalah keluguan yang kurang beruntung".

Dan saya menjadi bingung, jika saya nanti dikaruniai seorang anak,hendak saya bagaiamanakan mereka ? banyak sudah saya menyaksikan bukti-bukti kebenaran kata-kata Emha tersebut, salah satunya adalah realitas negeri ini yang saya omongkan di atas; pintar malah seneng berbohong dan mengibuli orang, bodoh justru seringkali menjadi bulan-bulanan.

Tak hanya saya, semua orang saya yakin sedang dihadapkan pada kenyataan yang sulit untuk mereka terima; cerdik pandai yang semula mereka andaikan sebagai mahluk-mahluk berjiwa bersih dan penolong, kini malah menjadi monster yang setiap saat dapat memangsa mereka dengan begitu kejamnya. Di mata mereka, ternyata banyak memabaca, gedung sekolah dan perpustakaan tidak menciptakan apa pun kecuali kemunafikan. Dan yang bisa dibanggakan justru adalah Pak Sanusi; orang tidak berpendidikan yang belum pernah bertatap muka dengan dosen sambil “makan” buku dan balpen

***

Bingung? Memang membingungkan, karena Emha hanya memberikan dua pilihan; Pintar kemudian licik, atau bodoh tapi justru akan sering dijadikan bulan-bulanan.

Saya kira, membuat alternatif lain selain keduannya adalah tugas para prkatisi pendidikan. Wllahua’lam.

 

* Penulis adalah Presiden BEM Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah

 

 

 Back To Daftar Isi

Disonansi yang Memecah Kebekuan Formalitas

Oleh. Abdullah Cholish Hafidz

 

What is great in man is that is a bridge and not a goal ;

what can be loved in man is that he is going-across and a down-going.

(Thus Spoke Zarathustra)

 Narasi di atas ditulis oleh Friedrich Nietzsche dalam prolog Zarathustra yang sempat menggemparkan di akhir abad ke-19 M. membacanya, membuat pikiran saya bergejolak. Pemahaman saya tentang makna dan peran hidup serasa digugat. Apalagi dalam lingkup kebudayaan kita yang banyak terbangun oleh kerja-kerja pendidikan yang dilayani oleh sistem yang begitu menggurita di jagad negeri ini.

Saya kemudian merasa malu. Selama ini, saya yang ikut aktif terlibat dalam unit-unit praktek pendidikan hanya melulu berorientasi untuk memperkuat dan membela kelangsungan sistem yang sudah ada, serta menutup kemungkinan untuk menjelajahi alternatif-alternatif yang lain. Langkah-langkah inovatif untuk itu ternyata tidak lebih hanya senandung kidung yang ingin melanggengkan harmoni sebuah sistem melalui usaha-usaha melioris, jauh dari relevansi kemanusiaannya. Sebuah lakon arogansi yang menampik pencapaian-pencapaian di luarnya, karena dianggap membangkang pada grand-system yang begitu perkasa karena memang dikawal oleh kebijakan politik penguasa.

Coba, lihat sekolah-sekolah kita.Dengan memperketat struktur dan jenjang kelembagaannya, dan dengan menata isi dan metode pendidikan yang melayani sistem itu, juga memberikan otoritas formal kepadanya untuk menentukan jalur dan jalan hidup seseorang, maka lengkaplah usaha memantapkan sistem tersebut sebagai lembaga yang sangat formal. Tingginya kadar sifat formal itu seakan membuat kita terobsesi pada rigiditas bentuk luar saja, tanpa peduli pada kesejatian isi dan makna teologis dari sistem itu.

Memang, yang diluar harmoni tidak selama menjanjikan kegalauan dan kepekatan. Seperti ketika kita coba mengganti nada sol pada lagu Silent Night dengan nada apapun, maka keagungan harmoni lagu abadi itu akan menjadi kegalauan yang menyakitkan. Tapi, sebaliknya ketika John Lenon dan John Bon Jovi dengan sengaja mencabik-cabik harnoni dan menghardik dunia dengan disonansi, yang terjadi adalah pengalaman bahwa disonansi begitu memabukkan karena indahnya. Revolusipun terjadi. Ternyata, disonansi yang membawa disharmoni juga cantik dan enak di dengar.

Dalam konteks kependidikan di negeri ini, saya sekali lagi merasa malu sekaligus sedih sewaktu mengingat jejak langkah selama ini : menggempur semua bentuk disonansi hanya untuk melanggengkan harmoni yang usang itu, tanpa sempat berbenah diri untuk menguraikan semua isi yang melandasi keabsahan kehadirannya, tanpa sempat menya dari bahwa keharmonisan itu telah berhenti hanya pada dirinya sendiri. Keluar, justru yang ditebar adalah kondisi carut-marut kebudayaan kita karena semua lubang yang menjadi saluran proses berbudaya dari bangsa ini telah banyak tersumbat oleh formalitas yang cenderung memasung kejujuran dan kreatifitas anak-anak bangsa.

Dengarlah kidung yang ditembangkan, lalu apresiasikan dengan pagelaran lakon yang ditampilkan oleh kebanyakan khalifah di jagat negara ini. Simaklah tembang lirih berirama altruisme, tapi saksikan juga lakon barbar dan menindas penuh kecongkakan. Perhatikan pekik yang mencanangkan integritas dan kehormatan, tetapi secara telanjang ia memamerkan dirinya sebagai “pahlawan kesiangan” yang korup dan menyembunyikan kerakusannya di bawah ketiak rakyat. Suluknya membeberkan mulianya self esteen dan harga diri, tetapi lakon yang dipagelarkan adalah tentang pencapaian kesejatian, tetapi amalannya seringkali berupa deprivasi dan penghancuran martabat kemanusiaan. Bagaikan sang nabi Yahudi yang hanya berputar-putar dalam lingkaran liturgi spritual mitzvot-nya.

Nihil fit sine causa”, demikian Leucipos sang filosuf Yunani mensabdakan sunnatullah bagi alam semesta. Kegemaran kita membicarakan secara ad infinitum perkara pendidikan dan segala tetek bengeknya, tanpa membuka cakrawala bagi proses berbudaya yang jujur pada nilai ketuhanan dan kemanusiaannya, hanya menjadikan pendidikan itu sendiri sebagai sumber masalah bagi peradaban manusia. Dan pada pokok ini kita diajari untukmemulai proses pendewasaan dengan berani untuk menerobos batas-batas primordial yang memang tidak esensial dari segi kemanusiaan. Berani untuk menganggap bahwa tembok formalitas itu bukanlah segala-galanya. Karena yang dibutuhkan adalah fleksibelitas yang bisa melayani kelangsungan proses berbudaya manusia secara utuh sebuah proses yang sublim di tengah hiruk-pikuk kecongkakan yang justeru menenggelamkan kemanusiaan kita.

Membaca Nietzsche, saya kemudian sadar: mungkin saja usaha kita selama ini untuk merangkum pancaran warna bianglala hanyalah refleksi fatamorgana. Tembang berirama disonansi yang dilantunkan sang filosuf `gila` itu telah banyak mengajari kita tentang proses dialektika hidup ini. Dan akhirnya, kita pun mengerti, bahwa tak selamanya yang puing itu adalah monomen yang layak untuk dikeramatkan.

* Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Saat ini sebagai kepala Madrasah Aliyah An-Najah 1 Karduluk, Pragaan Sumenep

 

 

 Back To Daftar Isi

RESENSI

KURIKULUM 2004: MENJADIKAN SETIAP ANAK UNIK DAN UNGGUL

Judul : Mengubah Sekolah

Penulis : Hernowo

Penerbit : Mizan Learning Center

(MLC) Bandung

Tebal : 228 halaman

Cetakan I: Mei 2005

Peresensi: Akhmad Nurhadi Moekri

Membuat buku yang membincangkan sekolah adalah impian saya, begitu Harnowo, penulis buku Mengubah Sekolah, memulai kata pengantarnya. Kemudian mengalirlah pemikiran-pemikiran ringan berbasiskan pengalaman ke dalam artikel-artikel yang menjadi materi buku ini, di antaranya adalah memimpikan sekolah yang menghargai subyektivitas.

Buku ini dirancang berselang-seling dengan menampilkan dua jenis tulisan. Tulisan pertama berkaitan dengan referensi yang menarik perhatian penulis, sedang tulisan ke dua berkaitan dengan pandangan-pandangan penulis tentang perubahan: Sekolah perlu berubah karena lingkungan di sekitarnya memang terus berubah.

Tulisan pertama menyajikan kesan penulis terhadap buku-buku jenis how to (jenis buku yang berisi petunjuk-petunjuk praktis untuk melakukan sesuatu) yang dibacanya, seperti Quantum Teaching oleh Bobbi DePorter, Mark Reardor dan Sarah Singer-Nourie, Quantum Learning oleh Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, The Learning Revolution oleh Gordon Dryden dan Jeannette Vos, konsep mind mappingnya Tony Buzan dan Joice Wycoff, kemudian buku-buku dengan judul Master It Faster, Multiple Intelligencesnya Howard Gardner, demikian juga Sekolah Para Juara.

Mudah ditebak bahwa pemikiran-pemikiran penulis yang muncul kemudian adalah antara lain berkaitan dengan:

Kiat-kiat di atas masih dilanjutkan dengan sekian kiat yang bermuara pada bagaimana mengubah sekolah yang selama ini terselenggara, Upaya mengubah sekolah ini sebenarnya telah direspons pemerintah dengan pemberlakuan Kurikulum 2004 yang saat ini gencar-gencarnya disosialisasikan untuk diimplementasikan. Khusus Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) penulis buku ini menurunkan di bawah sub judul Akankah KBK Mampu Menjadikan Setiap Anak Unik dan Unggul ?.

Sub judul ini berusaha meyakinkan kita bahwa KBK dapat menjadi tumpuan segala macam perubahan yang disarankan. Lebih lanjut penulis buku ini menyajikan daftar manfaat KBK yang menberdayakan. Pertama, KBK berorientasi pada kebiasaan dan kebiasaan. Ke dua, mendorong siapa saja untuk berkreasi atau menciptakan sebuah karya. Ke tiga, KBK akan membuat setiap orang berbeda dengan orang lain dalam konteks mencapai prestasi tertentu. Manfaat ke tiga, yaitu membuat setiap orang berbeda dengan orang lain, itulah yang dimaksud penulisnya dengan KBK mampu menjadikan setiap anak unik dan unggul.

Akhirnya walaupun teori dalam buku ini cenderung berangkat dan berfokus dari Reading and writting skill, di samping munculnya istilah yang barangkali tepat menurut struktur kata, tetapi belum diterima secara umum seperti pemelajar, buku ini cukup menarik untuk ditelaah dan dijadikan sebagai salah satu referensi dalam upaya mengubah sekolah yang dalam perjalanannya cenderung konvensional, stagnan, dan miskin inovasi.

Selamat mengimplementasikan Kurikulum 2004 atau KBK !

Sumenep, 21 Oktober 2005.

 

 

 Back To Daftar Isi